|
BANDUNG, (PR). Pemprov Jawa Barat menurunkan kewenangan pengolahan sampah di TPA Sarimukti di Kec. Cipatat Kab. Bandung menjadi tanggung jawab Kab. Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Dengan demikian, pelaksanaan di lapangan di lakukan tiga daerah itu bersama Perhutani. Tugas sebagai fasilitator untuk membentuk kelembagaan sudah dilaksanakan. Sekarang menjadi tanggung jawab daerah untuk melakukan pengolahan sampah, kata Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Agus Rachmat, ketika ditemui usai rapat paripurna pengesahan Perda tentang Penyelenggaraan Perlindungan Penyandang Cacat, di Gedung DPRD Jabar, Jln. Diponegoro, Selasa (3/10). Sejak awal, penanganan sampah di TPA Sarimukti dengan metode pengomposan dinyatakan bersifat sementara, artinya waktu penggunaannya dibatasi 3-5 tahun ke depan. Perincian kebutuhan untuk pengolahan sampah sudah dibuat Distarkim, tinggal sesegera mungkin diolah menjadi kompos, ujar Agus. Warga setempat sempat mengeluhkan aliran air lindi sudah mendekati mata air. Dikhawatirkan, terjadi pencemaran air terutama saat musim hujan. Menanggapi hal tersebut, Agus menyatakan, mengganti sumber mata air lebih mahal biayanya. Justru lebih baik memelihara mata air dengan mencegah tercemar lindi. Berdasarkan desain teknis, disiapkan kolam atau parit untuk menampung air lindi dari tumpukan sampah tersebut. Licit harus ditampung dalam bak pembuangan, kemudian diolah secara aerasi sehingga tidak langsung kontak ke badan air atau tanah, kata Agus. Aerasi merupakan proses pengolahan limbah sehingga air lindi mengalami kontak erat dengan udara. Dengan meningkatnya kandungan oksigen, zat-zat mudah menguap seperti hidrogen sulfida dan metana yang memengaruhi rasa dan bau, dapat dihilangkan. Kandungan karbon dioksida air akan berkurang. Mineral yang larut seperti besi dan mangan akan teroksidasi membentuk endapan yang dapat dihilangkan dengan sedimentasi dan filtrasi. Kalau sampahnya tercampur aduk seperti di TPA Sarimukti, air lindinya tidak dapat dimanfaatkan. Dikhawatirkan tercampur dengan bahan beracun. Kalau mau diproses menjadi sesuatu yang dimanfatkan, prosesnya mahal, ucap Agus. Perlu lahan Program Greater Bandung Waste Management Coorporation (GBWMC) yang mewadahi Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Cimahi, Garut, dan Sumedang, kata Agus, sudah memiliki kajian feasibility study (FS) terhadap metode sanitary landfill. Kalau metode waste to energy (WTE) yang diajukan Pemkot Bandung, belum ada FS-nya. Jadi, sulit untuk menilainya, katanya. Namun, dia meyakini, WTE akan sangat bermanfaat bila kajiannya sudah tuntas. Menurut dia, penanganan sampah di Metropolitan Bandung tetap memerlukan lahan. Kalau sampah sudah dipilah dari rumah tangga, lahan yang ada bisa dihemat, ujarnya. Saat ini, GBRWMC memiliki calon lahan di kawasan barat, yaitu Leuwigajah dan bagian timur di Citiis atau Legoknangka. Dalam waktu dekat, Sekda Jabar juga akan mengundang lima kab./kota yang terlibat GBWMC untuk buat kembali kesepakatan bersama. Alat pengukur layak atau tidak sudah ditetapkanmelalui SNI 91. Tinggal musyawarah, kita mau ambil yang mana, kata Agus. (A-158) Post Date : 04 Oktober 2006 |