|
BEKASI - Aksi penutupan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantar Gebang, Bekasi, kembali digelar, Rabu (5/5). Beberapa orang yang mengatasnamakan warga Kampung Ciketing Udik, Cikiwul, dan Sumur Batu menyatakan, penutupan itu dilakukan untuk memprotes Pemkot Bekasi yang dinilai ingkar janji. Wakil Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad pada awal 2004 lalu, sempat menjanjikan memberikan dana kompensasi Rp 50.000 per keluarga per bulan. "Cuma bisa kasih janji-janji saja, tapi mana buktinya? Kami dulu dijanjikan diberi uang kompensasi Rp 50.000 setiap bulan, tapi hanya sekali ditepati. Sekarang sudah empat bulan, kami belum terima lagi. Kami pokoknya sudah tidak percaya lagi kepada pemerintah. TPA harus ditutup," ujar Kosasih, warga RT 03/05 Cikiwul, Rabu itu. Rabu siang, Camat Bantar Gebang Edy Rosyadi turun langsung untuk berdiskusi dengan warga. Ia menjelaskan mengapa dana kompensasi yang sempat dijanjikan dulu itu tidak ditepati. "Pemberian dana kompensasi yang Rp 700 juta lalu itu, kan menggunakan APBD, dan itu menyalahi ketentuan negara. Karena itu, nanti akan dibicarakan lagi, dari mana sumber dananya tanpa menggunakan APBD," tuturnya. Ia menambahkan, saat ini ada kesepakatan antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi untuk menunjuk PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB) sebagai pihak ketiga swasta, yang akan mengelola TPA Bantar Gebang. "Gubernur DKI siap membayar Rp 52.500 per ton sampah yang dibuang ke Bantar Gebang. Nanti, dari retribusi itu, akan dihitung dulu, mana bagian untuk rakyat, dan mana untuk pengolahan sampah," katanya. Kepada Pembaruan, Edy mengatakan, jika nantinya PBB meraih keuntungan, akan dibagi dua antara DKI Jakarta dan Bekasi, sesuai perjanjian kerja sama antara Bekasi dan DKI yang telah habis per 31 Desember 2003. Setelah kontrak selesai, lahan TPA Bantar Gebang akan diolah sebagai usaha bersama DKI dan Bekasi. Persetujuan Dewan Pada sisi lain, Ketua Tim Pansus TPA Bantar Gebang DPRD Kota Bekasi Wahyu Prihantotno, Rabu petang, mengatakan, mengacu pada MoU (Memorandum of Understanding, nota kesepahaman) yang habis 31 Desember 2003, kerja sama itu salah. Mengacu ke MoU itu, TPA harus ditutup, lahannya direhabilitasi. Baru kemudian lahan itu dimanfaatkan untuk usaha antara DKI dan Bekasi. "Bagi saya, pokoknya tetap, sesuatu yang melanggar hukum tidak boleh dilanjutkan," katanya. Penunjukan PBB sebagai pihak ketiga itu harus mendapat persetujuan dewan, sesuai dengan peraturan mengenai kerja sama antara pemerintah dan swasta. Karena itu, kata Wahyu, pihak eksekutif, yaitu wali kota dan wakilnya, tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Wahyu mengakui, ada sebagian anggota dewan yang meminta agar konflik tutup buka TPA Bantar Gebang segera diselesaikan. "Tapi keputusannya tetap, semua permasalahan terkait pelanggaran yang terjadi, harus diselesaikan dulu," ia menambahkan. Terkait aksi pemblokiran oleh warga, menurut Wahyu, sangat mungkin ada kelompok tertentu yang berusaha memperkeruh situasi, menggerakkan massa melakukan aksi, dengan maksud menekan DPRD agar segera menyetujui penunjukan swasta dan pembukaan kembali TPA Bantar Gebang. Seperti diakui beberapa warga yang ditemui Pembaruan di lokasi, mereka kurang mengerti mengapa aksi pemblokiran harus dilakukan. (B-14) Post Date : 06 Mei 2004 |