Pemikiran tentang Banjir dan Reklamasi

Sumber:Kompas - 04 Januari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Tudingan bahwa reklamasi potensial menyebabkan banjir dan merusak tata air kota, untuk ahli hidrologi dan hidrolika, semua ini merupakan tudingan yang tidak berdasar sama sekali. Ada tidak adanya reklamasi, Jakarta tetap menghadapi masalah banjir.

Salah satu sebab utamanya terdapat di muara-muara sungai. Dataran kota Jakarta yang sangat luas dan landai adalah berkat sejarah geologinya.

Oleh karena bertambah lama bertambah lebar dan landai dataran ini, pencurahan sungai ke laut kian lama kian sulit. Jawabannya adalah muara-muara ini harus dikeruk dan itu tidak di Jakarta saja. Banyak kota di dunia ini yang muara-muaranya harus dikeruk, dan di dalam tulisan-tulisan Ir H van Breen 80 tahun yang lalu pun ditetapkan persyaratan ini. Namun, sampai sekarang tidak banyak pengerukan yang dilakukan. Van Breen menambahkan agar tanah kerukan itu jangan dibuang ke mana-mana, tapi ke tempat-tempat rendah di kota Jakarta sehingga akhirnya ketinggian rata-rata dataran Jakarta ini menjadi lebih tinggi.

Dalam studinya pada tahun 1920-an, Van Breen mengidentifikasi bahwa Teluk Jakarta men- jadi curahan banjir kiriman, wujud-wujud permukaan lembah Jakarta yang amat landai, dan banyak tanggul alamiah membuat air dan hujan setempat tidak cepat mengalir ke muara-muara laut dangkal di sepanjang pantai Teluk Jakarta yang menyebabkan gelombang dan pasang dengan mudah memanjat pantai, membangkitkan wilayah-wilayah genangan. Dalam 80 tahun sesudah itu, saran ini tidak pernah ditindaklanjuti.

Van Blommestein pada tahun 1950-an menambah lagi, pantai sebaiknya diberi perlindungan tanggul.

Kedua-duanya, baik pengerukan maupun tanggul, mahal. Jarang sekali konstruksi semacam ini dibayar dari public funds, dari anggaran belanja. Karenanya, orang selalu mencoba mengaitkannya dengan proyek komersial. Dalam hal Teluk Jakarta adalah reklamasi laut dangkal.

Reklamasi

Reklamasi menghasilkan lahan. Karena kebutuhan lahan besar dan mempunyai nilai tinggi, dari partisipasi modal swasta yang tercipta, akan dapat disisihkan uang untuk kemudian merapikan muara dan mengeruknya secara berkala.

Andai kata sekarang pemerintah memiliki dana itu, yang misalnya pinjaman, pengerukan saja tidak cukup sebab laut di Teluk Jakarta sudah landai sehingga alur keruk itu pun harus diberi tanggul sehingga ada tanggul-tanggul menjorok ke arah laut untuk melindungi muara ini. Ini merupakan pengeluaran yang ekonomis, namun tidak menghasilkan apa-apa.

Singapura sudah mereklamasi 5.000 hektar, dan dalam proses ini dua sungai di Singapura sudah terkendali sehingga tidak memberi banjir lagi sebagaimana selalu terjadi sebelum tahun 1960-an. Begitu pula di Tokyo sungai-sungai sudah dicocokkan dengan reklamasi. Hasil lahan baru ini menjadi suatu sumber pendapatan yang dapat membiayai pembenahan muara.

Yang menjadi fokus kritik paling utama pada siaran-siaran media massa adalah kesangsian akan bertambah parahnya masalah banjir di kota Jakarta akibat reklamasi di wilayah pantai dan laut dangkal ini. Tampaknya ada dugaan bahwa seluruh pantai akan ditutup, termasuk muara-muara sungai yang mencurahkan airnya di Teluk Jakarta. Padahal, penelitian oleh banyak pihak menunjukkan bahwa dengan reklamasi, muara-muara ini justru akan diamankan dan dirawat sebagai bagian konsepsional dari penataan pantai utara Jakarta.

Kemudian ada kritik lain yang lebih berdasar, yakni bahwa dengan lebih panjangnya ruas muara-muara sungai, akan lebih landai lagi ruas muara-muara itu. Akibatnya ada hambatan pada pencurahan air dari sungai ke laut, peningkatan permukaan air di ruas-ruas muara dengan bertambah besarnya kemungkinan luapan air di ruas-ruas tengah dan hulu pada sungai-sungai yang melintasi wilayah kota Jakarta.

Ini sebenarnya merupakan proses alami yang telah berjalan berabad-abad berkat melebar dan bertambah landainya dataran alluvial lokasi kota Jakarta. Tanpa adanya reklamasi, dataran rendah tempat kota Jakarta berlokasi akan melebar terus rata-rata sejauh 6-9 meter per tahun.

Van Breen sewaktu menata tata air kota Jakarta, yang pada waktu itu masih disebut Batavia, tegas mengatakan perlunya ruas-ruas muara sungai dikeruk secara berkala. Begitu pula wilayah rawa-rawa sepanjang pantai hendaknya dikeringkan.

AR Soehoed Konsultan Teknik, Pernah Menjabat Menteri Perindustrian RI



Post Date : 04 Januari 2008