Hari ini setiap tanggal 5 Juni seluruh masyarakat bumi memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Peringatan ini bertujuan untuk mengingatkan betapa kehancuran lingkungan juga akan mengakibatkan kepunahan manusia dan alam semesta.
Sebelum dampak mengerikan itu terjadi, peringatan ini pun digelar guna menggugah rasa kebersamaan menyelamatkan planet Bumi yang kita diami bersama supaya tetap berkelanjutan. Dunia saat ini sudah merasakan betapa kerusakan lingkungan hidup mengakibatkan kerugian terhadap manusia.
Perubahan Iklim yang menjadi momok menakutkan telah menewaskan ribuan jiwa, memaksa jutaan orang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal. Bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari dunia ini juga tidak luput dari dampak buruk kerusakan lingkungan.
Bencana terjadi di mana-mana. Banjir, tanah longsor, kekeringan telah memisahkan ribuan anak-anak dari orangtuanya dan banyak korban lagi yang kerugiannya tidak bisa dihitung secara materi. Sudah bukan rahasia lagi, meskipun disadari sangat penting, faktor lingkungan hidup sangat tidak diperhitungkan dan dipandang sebelah mata dalam proses pembangunan yang lebih berorientasi pada sektor ekonomi dan politik.
Tragedi yang paling anyar dan paling dekat dengan jantung Ibukota, yakni terjadinya musibah Situ Gintung yang telah menelan 100 nyawa manusia. Banyaknya korban jiwa dalam peristiwa ini diduga disebabkan padatnya permukiman penduduk di sekitar situ yang seharusnya steril dari berbagai jenis bangunan.
Sudah tidak terhitung lagi kampanye-kampanye untuk penyelamatan lingkungan hidup dilakukan pemerintah. Mulai dari kampanye menanam jutaan tanaman, peringatan Hari Bumi, peringatan Hari Ozon, peringatan Hari Lingkungan Hidup, dan masih banyak lagi kegiatan yang bernuansa hijau lainnya hingga membuat peraturan yang memproteksi lingkungan sudah dilaksanakan.
Bahkan, Indonesia tercatat dua kali menjadi tuan rumah penyelenggaraan event lingkungan dunia, yakni Konferensi Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali akhir 2007 dan Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado, pertengahan Mei 2009 lalu.
Namun anehnya, semakin gencar kampanye-kampanye dan acara-acara bertajuk lingkungan itu digelar, kondisi lingkungan hidup Indonesia malah tidak membaik. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2007 menyebutkan, pencemaran lingkungan di berbagai segi seperti air, tanah, dan udara, masih terus terjadi, bahkan banyak yang semakin memburuk. Jika melihat laporan SLHI lima tahun belakangan, praktis laporannya serupa, yakni terjadi degradasi lingkungan di tanah air meskipun sebagian kecil diantaranya penurunan kehancurannya mulai berkurang.
Tentu hal ini menjadi sebuah paradoks. Karena logikanya, jika kampanye-kampanye lingkungan hidup yang menghabiskan dana miliaran tersebut semakin banyak, sejatinya kondisi lingkungan ikut membaik.
Pemerhati lingkungan hidup Selamet Daroyini, beberapa waktu lalu mengatakan, kampanye-kampanye lingkungan hidup di Tanah Air, khususnya oleh pemerintah terkesan seremonial belaka tanpa disertai tindakan yang nyata di lapangan.
Dia mencontohkan, Kota Jakarta saat ini dalam kondisi krisis air tanah. Menurut dia, hujan yang jatuh di Ibukota sejak tahun 2007 dan 2008 berjumlah 2 miliar meter kubik (m3) dan yang meresap ke tanah hanya seperempatnya, yakni 532 juta m3 karena daerah resapan air yang sangat terbatas karena telah berganti menjadi perumahan, hotel, dan mal-mal.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mencatat ketidakkonsistenan Pemerintah Indonesia. Tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 2/2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan menuai banyak protes aktivis lingkungan. Belum lagi, belakangan ini tersiar kabar, pemerintah juga akan menerbitkan peraturan presiden yang mengizinkan penambangan tertutup di kawasan hutan lindung.
Sungguh sangat ironis, jika dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali Desember 2007, pemerintah telah mendeklarasikan niatnya menjadi pionir dalam penurunan emisi global dengan melakukan penyelamatan kawasan hutan, hanya selang satu bulan kemudian, muncul PP yang justru memfasilitasi penghancuran hutan lindung, dengan biaya yang bahkan lebih murah dari sepotong pisang goreng per meter perseginya.
Lapindo
Kini, Indonesia tanggal 8 Juli 2009 atau persis satu bulan plus tiga hari ke depan akan menghadapi pemilihan presiden (pilpres). Sejumlah pekerjaan rumah (PR) sudah menanti pemimpin bangsa yang berikutnya.
Kasus lumpur Lapindo yang sudah selama tiga tahun berlangsung hingga saat ini belum juga tuntas menjadi salah satu persoalan yang harus segera diselesaikan. Para aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, cukup pesimistis dengan ketiga pasang kandidat tersebut pasalnya hingga memasuki masa kampanye, tak satu pun kandidat memiliki misi yang jelas dan berpihak pada korban lumpur Lapindo.
Koordinator Jatam, Siti Maemunah, mengatakan, ketika iklan-iklan di televisi menyebutkan berbagai kemajuan yang dicapai masa pemerintahan yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono, korban lumpur Lapindo justru makin tenggelam nasibnya. Sejumlah tragedi yang bahkan berujung kematian nyaris tak pernah diberi ruang dalam pemberitaan media. [SP/Erwin Lobo]
Post Date : 05 Juni 2009
|