|
Bandung, Kompas - Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus membatasi perizinan penggunaan air tanah di wilayah tersebut sebab persediaannya sudah sangat kritis. Pembatasan perizinan itu perlu diakomodasi dalam rancangan peraturan daerah atau raperda tentang pengelolaan air tanah. Demikian dikatakan Heryana, Ketua Panitia Khusus I pembahasan raperda tentang pengelolaan air tanah, tanaman hutan raya (tahura), hutan raya, dan irigasi di Bandung, Rabu (4/6). Menurut dia, dengan pembatasan perizinan oleh Pemprov, eksploitasi atau penggunaan air tanah secara berhamburan tidak dapat dilakukan semena-mena. "Air tanah di Jabar sudah dalam keadaan kritis. Jika tidak ada pembatasan penggunaan, air tanah akan habis. Dampaknya adalah habisnya air tanah. Penggunaan air tanah secara konsumtif berakibat menurunnya permukaan air tanah," kata Heryana. Di Jabar, dari 15 daerah cekungan, sebanyak tiga daerah di antaranya dinyatakan kritis air tanah. Ketiganya meliputi cekungan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi. Heryana menilai, penggunaan air tanah secara konsumtif terjadi akibat pola hidup masyarakat yang kurang menyadari lingkungan, termasuk digunakan industri dalam volume besar melalui pemompaan secara ilegal. "Sayangnya, kita belum dapat mendeteksi berapa banyak pemompaan air tanah secara ilegal di Jabar. Namun, perda sebelumnya mewajibkan, pengambilan air pada kedalaman melebihi 90 meter seharusnya memiliki izin. Dengan kondisi air tanah yang menipis, pengambilan air tanah sering dilakukan pada kedalaman itu," kata Heryana. Heryana berpendapat, raperda tentang pengelolaan air tanah harus mengatur hal yang paling teknis mengenai penggunaan air tanah, termasuk pembatasan perizinan kepada industri dan sektor usaha kecil yang hendak mengambil air tanah pada kedalaman tertentu. Sementara Kepala Badan Perencanaan Daerah Jabar Deny Juanda berpendapat, pengelolaan air tanah lebih efektif menyentuh dan terfokus pada konservasi air tanah melalui sistem mengurangi, menggunakan kembali, dan mengembalikan kualitas air tanah. "Sistem ini tidak hanya menyentuh sisi pembatasan penggunaan, tetapi juga mengubah pola pikir bagaimana menggunakan air bekas pakai untuk derajat penggunaan yang lebih rendah," kata Deny. Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengemukakan, penanggulangan kritisnya air tanah selalu dengan pendekatan tanggap darurat, seperti pembangunan waduk dan danau. Akar permasalahan, yaitu buruknya daerah resapan air, justru tidak tersentuh. "Oleh karena itu, pemerintah perlu membatasi alih fungsi lahan yang terjadi setiap tahun," kata Sobirin. (A15) Post Date : 05 Juni 2008 |