|
Pekanbaru, Kompas - Usaha untuk menindak tegas para pengusaha yang telah mencemari Sungai Siak kini mulai terlihat. Untuk pertama kali, sejak peristiwa kematian ribuan ekor ikan di sungai tersebut pada 8 Juni 2004 lalu, Pemerintah Kota Pekanbaru memanggil lima pengusaha yang diduga kuat telah mencemari air di daerah aliran sungai Siak. Akan tetapi, hanya dua pengusaha saja yang memenuhi panggilan, sementara tiga pengusaha lainnya tidak hadir tanpa memberikan alasan yang jelas. Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Pemerintah Kota (Pemkot) Pekanbaru Herman Nazar mengungkapkan itu seusai bertemu para pengusaha tersebut di Kantor Wali Kota Pekanbaru, Sabtu (10/7). Diungkapkan, para pengusaha yang dipanggil adalah pemilik bengkel dan bubut PT Matra Dimensi, CV WMJ II, pemilik kilang kayu Sumber Tampan, serta dua orang pengusaha lainnya yang bergerak di bidang penggergajian kayu. Meskipun sudah diundang, yang memenuhi panggilan hanya dua pengusaha saja, yakni pemilik kilang kayu di kawasan Pekanbaru Kota dan pemilik PT Matra Dimensi, Boy Satrio. "Mengenai pengusaha yang tidak memenuhi undangan, kami akan selidiki penyebabnya. Sementara ini, kami masih berbaik sangka. Mungkin saja undangan tidak sampai, sehingga tiga pengusaha tadi tidak menghadiri panggilan kami," ujar Herman. Pada pertemuan itu, Tim Pengawasan Pencemar Sungai Siak yang dibentuk oleh Wali Kota Pekanbaru Herman Abdullah memaparkan pedoman tentang pemeliharaan lingkungan hidup di sekitar Sungai Siak kepada para pengusaha tadi. Tim juga memberikan pertimbangan yang terkait dengan pencegahan pencemaran air di Sungai Siak. "Pertimbangan-pertimbangan dari berbagai instansi itu akan menjadi dasar pijakan bagi Pemerintah Kota Pekanbaru dalam memberikan keputusan terhadap perusahaan-perusahaan yang berusaha di sepanjang aliran Sungai Siak," ungkap Herman. Pada pertemuan itu Pemkot Pekanbaru menekankan kepada para pengusaha yang hadir agar tidak membuang limbah industrinya ke aliran Sungai Siak sehingga menyebabkan pencemaran di sungai tersebut. Para pengusaha diminta agar mengemas limbah industri mereka sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). "Para pengusaha kayu tidak boleh membuang sisa gergajian kayu ke Sungai Siak, tetapi membuangnya ke TPA setelah membungkusnya terlebih dahulu. Pengusaha lain tidak boleh membuang limbah logamnya dengan cara menimbun dalam tanah, namun harus membuangnya ke TPA," ujar Herman. Limbah rumah tangga Secara terpisah, Direktur Rona Lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri menegaskan, untuk mengurangi beban pencemaran terhadap Sungai Siak, harus ada upaya merelokasi permukiman penduduk di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Siak. Kawasan selebar 100 meter di kedua tepian Sungai Siak harus dikosongkan dan diubah menjadi kawasan penyangga utama. Ariful mengingatkan, tekanan terberat yang dialami oleh Sungai Siak selain dari dunia usaha adalah limbah domestik atau limbah rumah tangga. Sebanyak 60 persen limbah yang mencemari Sungai Siak berasal dari limbah rumah tangga. Saat ini, demikian Ariful, terdapat sebanyak 19 perkebunan kelapa sawit, tiga pabrik crumb rubber (pengolah karet mentah), dan enam pabrik pengolahan kayu lapis yang memberikan sumbangan besar atas pencemaran Sungai Siak dari sektor industri. Pada saat yang sama, sungai yang memiliki rentang panjang 300 kilometer ini mendapat beban pencemaran pula dari sebuah pabrik lem, sebuah pabrik bubur kayu (pulp) dan kertas, serta 13 areal pertambangan minyak bumi. "Tidak hanya itu. Saat ini terdapat sekitar 1.078.811 jiwa penduduk yang hidup di sepanjang DAS Siak, tersebar di 277 kelurahan. Pada saat yang sama, baik industri maupun sektor rumah tangga telah menyebabkan tingkat pencemaran yang sangat parah terhadap air di Sungai Siak," ungkapnya. Tingkat pencemaran di Sungai Siak itu dapat terlihat dari tingkat biological oxygen demand (BOD) maupun chemical oxygen demand (COD) yang amat tinggi. Bila dikonversi dalam hitungan per tahun tingkat BOD-nya mencapai 8.012 ton. Parameter BOD adalah kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk membusukkan partikel-partikel organik yang terdapat di sungai bersangkutan. Adapun tingkat COD bila dikonversi mencapai 18.291 ton per tahun. Pada saat yang sama, sungai yang memiliki rata-rata kedalaman 29 meter tersebut juga dibebani oleh limbah lemak yang mencapai 56 ton setiap tahunnya. Parameter COD adalah kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi partikel-partikel non-organik. "Akibat pencemaran di Sungai Siak, tercatat sekitar 103 jenis ikan terancam kelestariannya. Kami memperkirakan jenis ikan di Sungai Siak tidak sebanyak itu lagi karena sebagian besar jenis ikan yang hidup di Sungai Siak merupakan spesies-spesies ikan yang sangat sensitif terhadap pencemaran limbah, terutama limbah kimia," papar Ariful. Pengolahan limbah Sementara itu, Kepala Dinas Kebersihan dan Tata Kota Pemkot Pekanbaru Junaedi mengungkapkan, pihaknya telah merancang pengolahan limbah domestik di Pekanbaru dengan teknologi yang mampu mengolah sampah rumah tangga menjadi gas penghasil tenaga listrik dan pupuk yang bisa menyuburkan lahan pertanian. "Untuk rencana ini, kami telah mengusulkan anggaran sebesar Rp 1,8 miliar yang akan digunakan untuk mengadakan mesin-mesin pengolah sampah tadi," ujar Junaedi. Untuk pengolahan sampah yang menggunakan teknologi control land filled dan sanitary land filled ini, Pemkot Pekanbaru membuka kesempatan kepada pihak swasta untuk berinvenstasi. Menurut Junaedi, hingga saat ini ada sejumlah pengusaha yang telah mengajukan proposalnya secara resmi kepada Pemkot Pekanbaru. "Kita tidak bisa mengandalkan dana dari Pemerintah Kota Pekanbaru saja karena dana yang diperlukan memang sangat besar. Oleh karena itu, kami telah menerima usulan dari beberapa pengusaha yang bersedia berinvestasi dalam bidang ini. Proposal itu masih kami pelajari dulu," imbuh Junaedi Junaedi menambahkan, dengan teknologi pengolahan sampah ini pihaknya berharap warga tidak membuang sampah ke Sungai Siak lagi, tetapi membuangnya secara tertib ke TPA yang ada di Muara Fajar, Rumbai. (OIN) Post Date : 13 Juli 2004 |