|
JAKARTA - Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan judicial review UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) bisa ditafsirkan institusi tersebut memerintahkan pemerintah untuk mengoreksi pengaturan pemanfaatan sumber daya air untuk privat. Dalam pertimbangan keputusannya MK menyatakan bahwa air adalah hak asasi yang dimiliki oleh seluruh warga negara tidak terkecuali, sehingga semua orang berhak mendapatkan air. "Negara harus menjamin semua orang mendapatkan akses air untuk keperluan sehari-harinya, baik air bersih atau air untuk keperluan lainnya," ujar Khalid Muhammad, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menanggapi putusan MK yang menolak permohonan judicial review UU tentang SDA di Jakarta, Kamis (21/7). Disebutkannya, walaupun menolak permohonan judicial review yang diajukan oleh 868 warga negara yang tergabung dalam 16 LSM itu, MK sependapat dengan permohonan pemohon bahwa hak atas air adalah hak asasi untuk semua orang. Hal itu tertuang dalam pertimbangan putusannya. "Paradigma ini berimplikasi bahwa negara menjamin ketersediaan air untuk keperluan warga negaranya. Jadi sejak adanya putusan ini tidak boleh ada warga negara yang tidak mendapatkan akses air," tegasnya. Selanjutnya pemerintah juga harus membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) No 16 Tahun 2005 tentang Penyediaan Air Minum yang keluar saat proses judicial review dilakukan oleh MK. Menurut Khalid, PP No 16 Tahun 2005 itu dinilai membuka peluang terhadap privatisasi penyediaan air minum, baik secara individu maupun swasta. "Privatisasi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan air minum yang menguasai sumber air sehingga masyarakat sekitar tidak bisa menggunakan sumber air itu," ujarnya. Menurut Wijanto Hadipuro, pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Universitas Katolik Semarang, privatisasi ini akan menimbulkan konflik pada masyarakat. Hal itu pernah terjadi antara PDAM dengan perusahaan air minum di Klaten, Jawa Tengah. Tidak Wajar Putusan MK terhadap judicial review UU No 7 Tahun 2004 ini dinilai memiliki perspektif hukum yang tidak wajar. "Dalam pertimbangannya MK menyebutkan bahwa masalah ini bisa diajukan kembali pada waktu mendatang. Padahal semua perkara di MK adalah pertama dan terakhir," ujar Prof Frans Limehelu, dari Universitas Airlangga Surabaya. Menurutnya hal ini menimbulkan perspektif baru dalam hukum tata negara karena memungkinkan suatu perkara diajukan kembali untuk tingkat mahkamah konstitusi. "Tetapi ini dilakukan oleh majelis konstitusi dalam pertimbangannya, bukan dalam amar putusannya," ujarnya. Namun Frans juga menyoroti format putusan majelis konstitusi yang nilainya berbeda dari biasanya. "Amarnya hanya berisi menolak permohonan pemohon. Padahal biasanya putusan itu menjelaskan persepsi pasal demi pasal yang diajukan pemohon apakah sesuai dengan UUD 45 atau tidak. Persepsi pasal per pasal itu dilakukan dalam pertimbangannya. Dalam pertimbangan itu juga disebutkan tentang kemungkinan untuk pengajuan kembali. Padahal biasanya pertimbangan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Kekuatan itu berada pada amar putusannya," jelas Frans. Putusan MK ini dinilai dapat menimbulkan penafsiran berbeda-beda dalam pelaksanaannya. "Kami pun akan mengirimkan surat kepada MK untuk meminta penjelasan mengenai keputusan ini. Jika sudah ada penjelasan mengenai putusan ini, kami baru menentukan langkah selanjutnya," ujar Khalid. (K-11) Post Date : 23 Juli 2005 |