|
Bekasi, Kompas - Pengelolaan sampah di sebagian besar tempat pembuangan akhir sampah di Indonesia masih memprihatinkan, bukan saja menimbulkan persoalan lingkungan hidup yang parah, tetapi juga sudah meminta korban jiwa. Oleh karena itu, sudah saatnya ada payung hukum persampahan secara nasional yang jelas dalam pengelolaan sampah. Demikian salah satu tuntutan yang terungkap dalam seminar "Malapetaka Sampah: Memilih Opsi Percepat Pengesahan RUU Persampahan" di Bekasi, Selasa (26/4). Seminar dua hari yang digelar LSM Pusat Industri Daur Ulang Sampah, Yayasan Karya Insan Nusantara, dan LSM Tapak Biru itu menghadirkan antara lain Antung Deddy R dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Dewi Motik dari Kongres Wanita Indonesia, dan Bagong Suyoto dari Pidus. Antung mengakui, potret pengelolaan TPA semakin mencekam, yang sebenarnya sudah bisa dideteksi. Namun, pemerintah daerah dan masyarakat sama-sama lemah dalam memandang sampah dan kebersihan yang belum dianggap sebagai persoalan penting. Padahal, konflik sampah akan terus muncul dengan meningkatnya penduduk meski sebenarnya sudah ada berbagai peraturan. Menurut Antung, KLH dengan Japan International Cooperation Agency sudah punya rancangan naskah akademik RUU Persampahan yang hingga saat ini masih dikaji apakah hanya mencakup persampahan atau juga mengenai limbah. Dewi Motik menyatakan dukungannya supaya derajat draf akademik RUU Persampahan segera dinaikkan menjadi RUU Persampahan. "Tetapi, yang lebih penting bagaimana menyosialisasikan (pengelolaan) sampah dengan bahasa yang dapat diterima masyarakat dan pelaksanaan aturan yang benar di lapangan," ujarnya. Berdasarkan data dari KLH tahun 2001 tercatat ada 63 TPA di Indonesia yang hampir semuanya menerapkan open dumping. TPA Bantar Gebang yang menerapkan sistem sanitary landfill ternyata implementasinya juga dipertanyakan. Produksi sampah di 12 provinsi tercatat 74.176 m3/hari dengan rincian sampah yang terangkut hanya 40.960 m3/hari. (eln) Post Date : 27 April 2005 |