|
BANDUNG -- Perhatian pemerintah kota/kabupaten dan pemerintah Jabar terhadap konservasi air sangat kurang. Seharusnya, 100 persen retribusi yang berasal dari izin pengeksploitasian air digunakan untuk konservasi. Hal tersebut diungkapkan pakar geologi dari Departemen Teknik Geologi ITB, Ir Lambok M Hutasoit, Phd. Menurut dia, sudah saatnya Kota Bandung memiliki pemetaan tentang daerah konservasi air dan daerah kritis air. ''Diperlukan penelitian yang rinci untuk memetakan daerah yang kritis air dan harus dikonservasi. DKI Jakarta, sudah memiliki peta itu, tapi Bandung yang sama-sama memiliki masalah dengan air sampai sekarang belum punya,'' ujarnya kepada Republika saat acara memperingati 'Hari Air', Selasa (21/3). Lambok mengatakan, pemkot/pemkab di Jabar hanya menggunakan 2,5 persen dari retribusi air tanah yang diterimanya untuk konservasi. Akibatnya, kata dia, data tentang daerah yang potensi air tanahnya tinggi dan daerah yang kritis air kurang sekali. Sebagai pakar, ia mengaku tidak bisa memprediksi daerah mana saja yang potensi airnya tinggi jika tidak melakukan pengeboran tanah terlebih dulu. ''Misalnya di Gedebage, ternyata setelah digali di kedalaman 250 meter potensi airnya cukup tinggi. Sedangkan di kawasan Bandung utara (KBU) yang sering diributkan, sebenarnya tidak seluruh daerahnya termasuk daerah resapan air utama,'' tutur Lambok. Untuk KBU, sambung Lambok, daerah yang termasuk resapan utama adalah dari Cimahi ke atas, Cisarua, Parongpong, Ciwaruga, Cihideung, dan sebagainya. Sementara, Babakan Siliwangi dan Punclut bukan termasuk daerah resapan utama. Khusus untuk Punclut, imbuh Lambok, meskipun bukan termasuk dalam daerah resapan utama tapi pembangunannya tetap harus diperhatikan. Pasalnya, pada daerah yang kemiringannya cukup tinggi tapi pembangunannya salah, akan rawan longsor. Pembangunan jalan di Punclut pun, kata dia, harus benar-benar memperhatikan sisi resapannya. Yaitu, dengan memasang selokan di pinggir jalan yang dibangun agar resapannya terjaga. ''Kami akan ikut memantau pembangunan di Punclut apakah sudah sesuai 20 persen pembangunan dan 80 persen penghijauan atau tidak. Karena biasanya pengawasan dari pemerintah lemah,'' ujar Lambok. Lambok menambahkan, pembuangan air di Punclut pun tidak boleh langsung. Namun, harus ditampung dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dulu baru dialirkan. Pasalnya, air yang dialirkan itu langsung ke masyarakat yang ada di bawahnya. Jika tidak diolah akan berbahaya. ''Limbah perumahan berupa diterjen itun membahayakan juga,'' katanya. Aktivis Lingkungan Peringati Hari Air BANDUNG -- Puluhan aktivis lingkungan dan mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Kelestarian Alam (Mahapeka) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, Selasa (21/3) melakukan aksi damai. Aksi yang berlangsung di Jl Viaduct ini dalam rangka memperingati Hari Air se-Dunia. Aksi tersebut dilakukan untuk menentang kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama di Indonesia. Aksi yang berlangsung mulai pukul 09.30 WIB itu, diwarnai dengan orasi yang menyoroti bahaya lingkungan. Akibat aksi para aktivis dan mahasiswa itu, arus lalu lintas di sekitar Jl Viaduct macet total. Dalam aksinya, para aktivis membagi-bagikan selebaran mengenai pentingnya menjaga ekosistem dan air. Koordinator aksi, Sofyan Munawar, dalam orasinya mengatakan, 90 persen hutan di Jawa Barat telah berada dalam kondisi rusak. Padahal, ujarnya, kelestarian hutan dan lingkungan bisa terjaga kalau ada kesadaran dari semua masyarakat. ''Karena itu, saya mengutuk kepada siapa saja yang telah melakukan aksi eksploitasi hutan, karena itu membahayakan ekosistem sekitar,'' tuturnya. Sofyan juga mengatakan, dari 791.519,33 hektare luas hutan di Indonesia, 90 persen di antaranya dalam kondisi rusak. Hal itu, cetus dia, karena aksi illegal logging yang dilakukan para penjarah sudah tidak bisa diatasi lagi.(kie/mus ) Post Date : 22 Maret 2006 |