|
Jakarta, Kompas - Pembangunan polder untuk menangani banjir, yang disetujui pada tahun 1973, sampai saat ini masih terbengkalai. Padahal, pembangunan polder itu mutlak dibutuhkan karena sebagian besar wilayah Jakarta ada di bawah permukaan laut. Menurut Manajer Proyek Witteveen Bos Indonesia-Nedeco Sawarendro yang ditemui di Jakarta, Selasa (4/12), rencana itu tidak berjalan karena kelemahan institusional. Lemahnya kemampuan dan kemauan pemerintah serta partisipasi masyarakat membuat rencana pembangunan polder tidak diwujudkan. Sistem polder mutlak diperlukan mengingat 40 persen dari 650 kilometer persegi wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut saat air pasang. Kondisi ini seperti di Kerajaan Belanda yang membangun polder karena sebagian besar wilayahnya lebih rendah daripada permukaan laut. "Zaman Ali Sadikin, rancangan Nedeco sudah disetujui, tetapi tidak diimplementasikan," kata Sawarendro yang aktif dalam Netherlands Engineering Consultants (Nedeco). Sistem polder mencakup pembangunan waduk retensi, tanggul, dan rumah pompa. Sistem itu mutlak dibutuhkan karena dengan posisi kawasan hunian yang lebih rendah, tidak dimungkinkan mengalirkan air dengan daya gravitasi bumi. Bahkan, lanjut Sawarendro yang alumnus Delft Universiteit, beberapa daerah di Jakarta Utara dalam kondisi air surut pun berada di bawah permukaan laut. Kondisi itu harus diatasi dengan pemompaan. Hitungan ideal antara waduk retensi adalah 5-8 persen dari luas daerah hunian yang menerapkan sistem polder. Selama ini penanganan yang dilakukan bersifat parsial, seperti pemasangan pompa tanpa dilengkapi tanggul dan waduk. Sugianto Kusuma, pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK), mengatakan, pola sistem polder itu pula yang diterapkan di kawasan PIK dan sekitarnya, seperti di Jalan Tol Sedyatmo. Karena itu, PIK yang berada di dekat laut terhindar dari ancaman air pasang dan banjir kiriman. "Saya sudah mengembangkan kemitraan dengan warga permukiman di luar PIK, seperti di Pluit dan Muara Karang, untuk mengembangkan sistem tersebut dan sudah berhasil," katanya. Pihaknya mendorong Pemerintah Provinsi DKI agar segera mengimplementasikan teknik itu di daerah Kapuk, Kapuk Muara, dan Kamal yang sering terendam air pasang dan banjir kiriman. Tak mampu menahan Di tempat terpisah, Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengatakan, hutan bakau di pantai utara Jakarta tidak bisa dipertahankan karena tidak mampu mencegah gelombang pasang masuk ke daratan. "Apabila tinggi gelombang pasangnya hanya satu meter, pohon bakau bisa memecah gelombang. Tetapi kalau tingginya lebih dari dua meter, air laut tetap masuk ke daratan," kata Prijanto. Hutan bakau bisa mencegah abrasi. Namun, dengan pemanasan global, permukaan laut makin tinggi, sementara hutan bakau tidak memadai. Pada saat yang sama, permukaan tanah setiap tahun turun 0,8 sentimeter. (ARN/ONG) Post Date : 05 Desember 2007 |