|
Jakarta, Kompas - Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto belum berani menjamin pembersihan puing-puing di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tuntas pada akhir Maret 2005. Sebab masih banyak wilayah bencana, seperti jalan kabupaten, jalan provinsi dan permukiman yang baru sebagian kecil yang dibersihkan. "Memang, sudah banyak hal yang kita lakukan dalam pembersihkan puing dengan menggunakan 700 unit alat berat. Namun masih banyak hal juga yang harus dikerjakan guna menuntaskan pembersihan semua lokasi bencana. Makanya, sampai akhir Maret 2005, saya belum yakin Aceh benar-benar bersih 100 persen," kata Menteri Pekerjaan Umum (PU) Joko Kirmanto, Senin (31/1) di Jakarta. Kemarin Menteri PU menerima hibah delapan unit alat berat dari Kobelco (Jepang) dan CNH Global NV Group (Amerika Serikat). Peralatan dengan total nilai Rp 5,5 miliar itu diserahkan secara simbolis oleh Presiden Direktur Kobelco Construction Machinery Hiroo Shimada dan Manajer Direktur CNH Group Beatenbough David. Kobelco merupakan produsen khusus hidrolic excavator sedangkan CNH adalah produsen bidang alat pertanian dan konstruksi. "Hibah ini masih jauh dari harapan. Karena itu, kita berharap mampu memberikan manfaat yang optimal bagi kegiatan pada lokasi bencana di Aceh," ujar Hiroo Shimada. Hingga kemarin, Departemen Pekerjaan Umum telah menerima bantuan peralatan dari 30 lembaga swasta nasional, lembaga asing dan negara asing. Hibah itu berupa alat berat (escavator, buldozer, loader), truk tanki toilet, sumber pompa tanah, instalasi filterisasi. Menurut Joko Kirmanto, pembersihan puing di jalan-jalan besar dan strategis mendekati 95 persen, sedangkan di kawasan permukiman dan jalan kecil baru sebagian kecil. Untuk itu, dia mengharapkan partisipasi masyarakat setempat guna mempercepat proses pembersihan puing. "Kami sangat berharap pemilik bangunan yang runtuh lebih aktif melakukan pembersihan puing, jangan hanya mempercayakan semuanya kepada pemerintah," jelas Kirmanto. Warga tak berani pakai Dari Banda Aceh dilaporkan, sebagian warga Aceh masih enggan menggunakan air sumur atau ledeng untuk kebutuhan minum dan memasak pasca-gempa bumi dan tsunami. Mereka lebih memilih antre air bersih hingga berjam-jam di lokasi penyediaan air besih yang disediakan relawan asing. "Kami belum berani minum air sumur sejak tsunami. Air ledeng juga kami tidak lagi minum. Rasanya tidak enak dan agak berbau. Kami pikir air masih terkontaminasi mayat-mayat kemarin. Setiap hari kami pilih antre air bersih saja," kata Fahrurozi (40), warga Kampung Baru, Baiturahman, Banda Aceh yang sedang mengantre air bersih di Jalan Pante Pirak. Berdasarkan pantauan Kompas, ratusan warga yang mengantre air bersih yang dikelola tentara Australia itu, bukan hanya pengungsi. Bahkan, kebanyakan justru warga yang tinggal di rumah atau di daerah yang tidak terkena tsunami. Warga mengaku menggunakan air sumur dan ledeng hanya untuk mandi dan mencuci. Selain itu, aliran air ledeng juga masih belum lancar atau mati. Aqir sumur tidak bagus akibat tertutup lumpur tsunami. Pemberian air bersih yang sudah dikemas dalam galon atau kantong plastik sekitar 10-15 liter itu diberikan dua kali sehari. Pagi hari dimulai pukul 09.00-11.00 dan sore pukul 15.00-17.00. Untuk warga yang membawa galon sendiri pelayanannya lebih cepat. Kadang-kadang mereka diberi ijin untuk mengisi sendiri. Air tersebut diambil dari pipa induk saluran air PDAM Tirta Daroy Banda Aceh dan bisa langsung diminum tanpa dimasak lagi. Iqbal (15), warga Beraweh, Kuta Alam mengatakan keluarganya juga sudah tidak meminum air sumur di rumah. Selama ini, mereka membeli air mineral. "Akhirnya kami diberi tahu ada pembagian air bersih gratis. Orang di rumah gantian datang ke sini. Setiap orang kan dikasih satu galon. Supaya dapat banyak kami datang ramai-ramai. Cuma memang menunggunya lama bisa sampai satu jam," ujarnya. Iqbal mengaku kadang-kadang dia juga mengantre di daerah Lambaro. Penyediaan air bersih untuk warga dan pengungsi kini banyak disalurkan relawan asing seperti Australia yang mengambil dari pipa saluran induk dan Jerman dari reservoir PDAM Tirta Daroy Banda Aceh. Selain itu, penyaluran air bersih juga dilakukan PT GE dan Institut Teknologi Bandung yang memproduksi air dari Sungai Krueng Aceh. Direktur PDAM Tirta Daroy Banda Aceh Syamsul Bahri mengatakan penyaluran air PDAM memang terganggu karena 75 persen jaringan pipa hancur. Sebelum tsunami, jumlah pelanggan PDAM mencapai 25.000 sambungan, kini diduga tinggal 8.000 sambungan. "Distribusi air memang tidak lancar karena banyak jaringan yang rusak. Sekarang ini kami mencoba mengisolasi jaringan yang rusak supaya air tidak terbuang. Tetapi itu sulit dilakukan karena daerah sekitarnya belum dibersihkan. Kalaupun ngotot dilakukan, ya ada yang rusak lagi terkena alat berat saat pembersihan," katanya. Menurut dia, penyaluran air bersih yang dilakukan relawan asing dan lainnya cukup membantu. Pasalnya, produksi air PDAM Banda Aceh tetap seperti biasa yakni 450 liter per detik, namun terkendala dalam pendistribusiannya. "Keterlibatan negara asing dalam menyalurkan air bersih ya tidak masalah meskipun tidak berkoordinasi langsung dengan kami," katanya seraya menambah pemulihan jaringan pipa sedikitnya dibutuhkan dana Rp 5 miliar. 85 persen dari masyarakat Secara terpisah Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah menyebutkan, sejauh ini 85 persen sumbangan untuk korban bencana gempa dan tsunami di NAD berasal dari masyarakat. Meski demikian, Bachtiar menyebutkan belum ada satupun lembaga yang mengajukan izin pengumpulan sumbangan. Pernyataan itu disampaikan Bachtiar saat tampil sebagai pembicara dalam seminar "Mengurai Ragam Masalah Hukum Pascatsunami di Aceh dan Sumatera Utara" yang digelar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (31/1) siang. Bachtiar mengakui, antusiasme masyarakat yang begitu tinggi, terutama sejak kondisi Aceh pascabencana banyak dipaparkan media massa. Meski demikian, pemerintah harus mengantisipasi kesinambungan bantuan kepada korban bencana. "Sekarang biarlah masyarakat dulu, karena ini masih akan panjang," kata Bachtiar. Bachtiar mengakui, bencana gempa dan tsunami menjadi komoditas dalam pencarian sumbangan. Bachtiar menyebutkan, semestinya memang lembaga yang hendak mengumpulkan sumbangan meminta izin terlebih dulu kepada Menteri Sosial. Namun kondisi darurat dan melihat besarnya antusiasme masyarakat untuk menyumbang, Departemen Sosial tidak mungkin melarang pengumpulan sumbangan. Pemerintah hanya bisa menyarankan penerima sumbangan untuk bersikap transparan, sementara masyarakat disarankan menyumbang lewat lembaga yang terjamin kredibilitasnya. Menurut data Departemen Sosial, distribusi bantuan beras di 18 kabupaten/kota dengan pengungsi sekitar 450 ribu jiwa selama 30 hari menghabiskan beras 5.000 ton dengan rincian 2.000 ton dari masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dan 3.00 ton dari pemerintah. Untuk 30 hari ke depan akan dibutuhkan beras minimal 6.000 ton, sedangkan stok di gudang Dolog 28.749 ton sehingga persediaan cukup untuk dua sampai tiga bulan. Sementara untuk lauk-pauk seperti mie instan, sardencis, minyak goreng dan susu, 30 persen masih diperoleh dari bantuan masyarakat. Sementara pengajar Fakultas Hukum UI Topo Santoso mengungkap adanya potensi penyimpangan bantuan korban bencana, mulai dari tahap persiapan sampai tahap pelaporan. Mengutip pendapat Graham Hancock, pada hakikatnya semua dana bantuan pemerintah yang diberikana kepada negara miskin mengalami penyimpangan. "Penderitaan massal dan kepentingan publik bukan menjadi halangan praktik kejahatan. Justru kondisi yang tidak normal "menguntungkan" dalam praktik korupsi bantuan," ujarnya.(ELN/JAN/dik) Post Date : 01 Februari 2005 |