|
Mataram, Kompas - Pembangunan kesehatan di Nusa Tenggara Barat terkesan masih sebatas mengajarkan warga bagaimana seharusnya membuang air besar. Alasannya, kasus "penyakit rakyat" seperti diare dan demam berdarah yang banyak mengakibatkan kematian hampir dapat dipastikan bersumber dari buruknya sanitasi serta perilaku masyarakat itu sendiri. Hal itu tersirat dari komentar Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr I Komang Gerudug MPH, dan Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan NTB Made Suadnya, yang ditemui secara terpisah, Selasa (21/12) di Mataram. Sebelumnya dr Thamrin Hidjaz, Kepala Seksi Kejadian Luar Biasa Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan NTB, menyebutkan, ada 314 kasus diare selama 1-16 Desember 2004 terjadi di Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa. Dari jumlah itu, empat orang di antaranya meninggal, yaitu dua bayi berusia delapan bulan dan 12 bulan, serta lelaki berusia 35 tahun dan 60 tahun (Kompas 21/12). Menurut Gerudug, kasus diare, demam berdarah, malaria, dan lainnya akan terus memengaruhi derajat kesehatan penduduk karena bertalian erat dengan perilaku serta buruknya kondisi lingkungan tempat tinggal. Penyebab lainnya adalah rendahnya pendidikan dan kemiskinan penduduk. "Sementara di pihak lain jika ada kasus diare, malaria, dan demam berdarah, kamilah yang dituding selaku penanggung jawab," ujarnya. Hal senada dikatakan Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat drg Lalu Duarne. Dia menunjuk contoh petugas puskesmas, yang dengan anggaran terbatas dan umumnya untuk gaji pegawai, dituntut kerja keras menuntaskan program sanitasi, meski tak diikuti tindakan nyata. Sebutlah, misalnya perbaikan rumah bagi warga penderita tuberkulosis (TBC) dari berlantai tanah menjadi lantai semen, lalu dilengkapi jendela, tidak bisa terlaksana karena warga itu tidak memiliki uang untuk itu. "Kegiatan pelayanan puskesmas adalah promotif dan preventif. Namun, ketika program itu diajukan agar didukung anggaran, biasanya dicoret oleh pihak berwenang," ujar Lindawati, Kepala Puskesmas Karang Taliwang, Kota Mataram. Faktor perilaku Padahal, sektor kesehatan selain tidak berdiri sendiri. Selain kontribusi pelayanan tenaga kesehatan terhadap peningkatan derajat kesehatan, paling dominan (40 persen) adalah faktor perilaku, yaitu membuang hajat di sembarang tempat. Pemandangan seperti itu terlihat di mana-mana hingga menjadi sumber penularan kasus diare di beberapa kabupaten itu. Kotoran manusia bercampur dengan kotoran binatang lalu mencemari sumber air, seperti sumur dan sungai yang biasa digunakan untuk mandi, cuci, kakus (MCK). "Faktor ini ditambah lagi oleh kebiasaan penduduk yang minum air tanpa dimasak lebih dahulu," demikian Gerudug. Made Suadnya menambahkan, selama ini Dinas Kesehatan lebih banyak menangani penyakit rakyat, seperti diare, demam berdarah, malaria, infeksi saluran pernapasan akut, alergi, penyakit kulit, pnemoni, yang semuanya berhubungan dengan aspek perilaku dan lingkungan. Pantauan Dinas Kesehatan NTB mencatat, kasus diare di provinsi ini masih relatif tinggi. Sebagai contoh, selama tahun 1995-2000 mencapai 60.000 kasus per tahun di NTB. Atau kasus demam berdarah dengue (DBD) selama Januari-September 2004 tercatat 763 kasus, termasuk delapan penderita di antaranya meninggal. Sedangkan selama Oktober- Desember 2004 terjadi delapan kasus di Mataram, masing-masing satu kasus di Praya (Lombok Tengah), Kabupaten Sumbawa dan dua kasus di Bima. Kasus itu umumnya terjadi pada lingkungan kumuh, pertambakan dan daerah pesisir. "Memang ironis, dalam zaman teknologi canggih dewasa ini, ketika orang lain sudah mandi pakai tisu, kami masih mengajari orang cara BAB alias buang air besar," ucapnya. Realitas itu tidak terbantahkan, sekaligus juga jadi acuan program intervensi kesehatan. Misalnya pengadaan air bersih bagi daerah potensial kasus diare lewat program Air dan Sanitasi Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Water and Sanitation for Lowincome Communities/WSLIC). Program ini ada di Lombok Barat dan Lombok Tengah (masing- masing 72 desa), Lombok Timur dan Bima (masing-masing 62 desa), Kabupaten Sumbawa (65) dan Dompu (40). Gaya hidup Penduduk yang desanya ditengarai terjadinya kasus diare juga mendapat pinjaman untuk pembangunan jamban keluarga berupa uang Rp 300.000-Rp 400.000 setiap kepala keluarga untuk pembelian kloset, bak penampungan berikut pembangunan jamban. Pinjaman itu dikembalikan secara angsuran, dan setelah lunas digulirkan kepada warga yang belum kebagian. Perguliran dana itu dinilai masih seret dan molor, mengingat warga yang sudah mendapat giliran tidak bisa melunasinya sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Belum ada laporan resmi hasil kegiatan program itu, namun secara kasat mata, kasus yang diare terlihat ada penurunan. Data sementara menyebutkan, tahun 2003 tercatat 84.809 kasus menurun jadi 68.516 tahun 2004 (Januari-November). Jumlah itu di luar 314 kasus serupa yang disebutkan di atas. Tingkat penurunan itu dinilai masih rendah karena upaya mengubah perilaku menjadi hidup sehat memerlukan proses. Untuk itu peran serta tenaga kesehatan khususnya menjadi penting. "Taruhlah mengubah kebiasaan minum air mentah menjadi air matang, sebetulnya diatur waktunya saja. Sebelum bekerja ke sawah dan ladang, penduduk dianjurkan memasak air dahulu. Pulang kerja, air itu sudah dingin," tutur Suadnya. Penanganan kasus malaria ditempuh melalui penyemprotan pada tempat berkembangbiaknya nyamuk, pengurasan dan pembersihan bak mandi, menanam kaleng dan wadah- wadah yang memungkinkan jentik nyamuk beranak-pinak, selain memberikan sumbangan kelambu bagi warga yang bermukim di daerah pesisir. Gerudug mengimbau, "Kesehatan hendaknya jadi gaya hidup, sama halnya kini penggunaan telepon genggam menjadi bagian gaya hidup." (RUL) Post Date : 23 Desember 2004 |