|
Proyek mekanisme pembangunan bersih di Indonesia masih sedikit yang telah terdaftar di dunia. Lagi-lagi terhambat aturan main dan modal. Tak perlu petunjuk arah untuk sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Dari gerbang tol Bekasi Barat, dengan hanya mengikuti indra penciuman saja, akan bisa segera tiba ke tempat tujuan. Maklum, tempat pembuangan sampah raksasa warga Jakarta itu sudah tercium dari jarak 7 kilometer. Bau timbuan sampah kian menyangat di saat musim hujan. Itulah sebabnya, di sejumlah daerah, banyak warga yang menolak wilayahnya dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. Misalnya, di Leuwigajah, Kabupaten Bandung. Akibatnya, hingga kini jalan-jalan utama Kota Bandung belum terbebas dari tumpukan sampah. Untunglah, bau dan pemandangan tak sedap itu sudah bisa diatasi di wilayah selatan Bali yang mencakup Denpasar, Tabanan, Badung, dan Gianyar (Sarbagita). Sebab, di sana telah dibangun instalasi pengolahan sampah terpadu (IPST). Tempatnya di TPA Suwung, Denpasar. Di sana, tumpukan sampah itu dipilah menjadi sampah organik basah, sampah organik kering, dan sampah yang bisa didaur ulang. Lalu, masing-masing diolah lagi sehingga menjadi kompos, gelas atau metal, serta bahan bakar dari sampah (refuse-derived fuel atau RDF). Bahan bakar itu lantas diubah lagi menjadi listrik. Proyek yang dirintis sejak 2004 itu dikelola PT Navigat Organic Energi Indonesia. Proyek tersebut merupakan salah satu bentuk pengurangan emisi yang dilakukan lewat CDM atau clean development mechanism yang sudah terdaftar di Badan Eksekutif CDM (CDM Executive Board). Badan Eksekutif CDM adalah lembaga pengatur resmi dunia yang dibentuk berdasarkan Pasal 12 Protokol Kyoto. Perusahaan investasi asal Inggris, PT Global Eco Rescue Indonesia, juga sedang mendaftarkan delapan proyek serupa. Kini, dokumen rancangan proyek (PDD) mereka telah berada di Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB). Komnas MPB adalah otoritas nasional yang ditunjuk oleh pihak dari protokol tadi. Komnas MPB, menurut Direktur Utama PT Global Eco, Laode M. Kamaluddin, bertugas menilai PDD yang mereka ajukan. Rancangan proyek itu harus memenuhi sejumlah syarat. Antara lain, bertujuan meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan. Tujuan lainnya adalah alih teknologi. Lalu, memberi aspek sosial berupa memperluas lapangan pekerjaan. Terakhir, menguntungkan secara ekonomi. ''Kami belum membangun, karena masih menunggu proses administrasi,'' ujar Laode. Dalam proyek ini, ia bekerja sama dengan delapan pemerintahan daerah, yakni Padang, Jambi, Batam, Malang, Balikpapan, Samarinda, Palu, dan Mataram. Alasannya, ''Karena wali kotanya mau dan mengerti,'' katanya. Berbeda dengan PT Navigat Organic, PT Global Eco Rescue hanya mengubah sampah menjadi gas metana. Prosesnya juga didahului dengan pemilahan sampah di TPA. ''Di Indonesia, proses tersebut dilakukan oleh pemulung,'' ujar Laode. Sampah yang bisa didaur ulang atau sampah organik kering, kata Laode, sudah lebih dulu diambil oleh pemulung sebelum sampah itu sampai ke atas truk pengangkut. ''Yang tersisa di TPA hanya dahan kayu, daun atau buangan sampah rumah,'' katanya. Dengan proses fermentasi alamiah, sampah-sampah tersebut bisa menghasilkan gas metana. Caranya, dengan memadatkan sampah. Lalu, setiap 3 meter tinggi sampah padat itu ditimbun oleh 30 sentimeter tanah. Maksudnya, agar sampah tidak bersinggungan dengan oksigen. Begitulah hingga ketinggian sampah mencapai 10-15 meter. Dari timbunan itu dipasang pipa-pipa yang tersambung ke tempat penampungan gas yang dilengkapi mesin penyedot. Pada pipa tersebut juga dipasang meteran untuk mengetahui gas landfill yang ditangkap. ''Gas yang keluar dari pipa horisontal di atas tempat penampungan itu lalu dibakar,'' ujar Laode. Pembakaran gas metana tersebut memang menghasilkan gas karbon. Namun, kata Laode, proses itu jauh mengurangi emisi yang lebih besar. ''Metana mempunyai daya rusak 23 lebih besar dari CO2,'' katanya. Dengan demikian, pembakaran tersebut masih menyelamatkan potensi kerusakan 22 kali dibandingkan dengan CO2 yang dihasilkan. Dalam mekanisme CDM, kata Laode, gas yang diselamatkan itulah yang dibayar. Nilai 1 kubik gas metana sebansing dengan 23 kubik CO2. Jika harga 1 kubik CO2 itu US$ 1, maka 1 kubik gas metana yang dibakar adalah US$ 22. Sedangkan gas metana yang dihasilkan 5 hektare sampah yang diperkirakan 0,5 juta kilometer kubik. Setelah diukur, pengurangan emisi gas rumah kaca tadi ditukar dengan sertifikat reduksi emisi (certified emission reduction --CER). Hitungannya, menurut Protokol Kyoto, satu unit reduksi emisi gas rumah kaca sebanding dengan 1 metrik ton CO2e. Sertifikat itulah yang kemudian dijual kepada negara maju, untuk membantu mengurangi target pengurangan emisi gas rumah kaca di negaranya. CDM adalah salah satu mekanisme Protokol Kyoto yang mengatur negara maju (negara Annex I) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. CDM juga satu-satunya mekanisme yang mengikutsertakan negara berkembang. CDM bertujuan membantu negara-negara Annex I memenuhi target penurunan emisi negaranya. Negara berkembang saat ini tidak mempunyai kewajiban menurunkan emisinya. Di sisi lain, negara berkembang dapat membantu mengurangi emisi global secara sukarela dengan menjadi tuan rumah proyek-proyek CDM. Dengan demikian, CDM dapat menjadi insentif bagi negara berkembang yang secara sukarela mempertimbangkan lingkungan dalam setiap kegiatannya. Jadi, semua pihak berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Berdasarkan ukuran dan tipe kegiatan yang dilakukan, proyek CDM dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Yakni, proyek pengurangan emisi dan proyek penyerapan karbon. Kedua proyek itu, masing-masing terbagi lagi menjadi CDM skala normal dan CDM skala kecil. Proyek pengurangan emisi dilakukan oleh sektor energi. Misalnya, industri pembangkit energi dari sumber terbarukan maupun tidak terbarukan. Atau, industri manufaktur, kimia, konstruksi, transportasi, pertambangan, produksi logam, penggunaan pelarut, dan pertanian lewat pengurangan emisi CH4 dan N2O. Sedangkan proyek penyerapan emisi karbon dilakukan melalui aforestasi dan reforestasi dari sektor kehutanan. Aforestasi adalah penanaman kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu menjadi berhutan. Adapun reforestasi adalah penanaman hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 31 Desember 1989. Sayangnya, sejauh ini hanya sembilan proyek CDM Indonesia yang terdaftar di Badan Eksekutif CDM. Puluhan proyek lainnya malah jatuh ke Cina, India, dan Brasil. Direktur Utama Carbon and Environmental Research Indonesia, Andri Akbar Marthen, melihat ini disebabkan faktor hambatan kebijakan internasional dan nasional. Protokol Kyoto, kata Andri, tidak memasukkan upaya konservasi. Lalu, syaratnya harus sukarela, bukan kebijakan pemerintah. Sehingga, kegiatan rehabilitasi lahan sulit mendukung aktivitas berburu karbon dalam CDM kehutanan. Secara nasional, Andri menunjuk adanya komitmen pemerintah daerah yang cukup tinggi. Kepemimpinan yang kuat penting untuk menjaga komitmen CDM yang jangka waktunya lama. Masalahnya, hampir semua peraturan perundang-undangan membatasi haknya untuk menjadi pengembang proyek. Padahal, kata Direktur Eksekutif Yayasan Pelangi Indonesia, Moekti H. Soejachmoen, secara internasional CDM telah menjadi tumpuan utama pengurangan emisi. ''CDM menjadi pasar-sentris,'' katanya. Pasar Sertifikat Sabuk Hijau Sebagai negara sabuk hijau (green belt country), hutan Indonesia masih menjadi andalan untuk menyerap emisi gas rumah kaca dari negara-negara maju. Namun, tak semua jenis hutan bisa dimasukkan dalam mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang diatur Protokol Kyoto. Karena itu, perusahaan investasi asal Inggris, PT Global Eco Rescue, bersama Borneo Tropical Forest Foundation menggandeng Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Pada 24 Oktober lalu, ketiganya meneken nota kesepahaman (MoU) untuk melestarikan hutan lewat mekanisme pasar karbon sukarela (voluntary carbon market-avoid deforestation). Global Eco akan bekerja sama dengan Malinau mengembangkan proyek perdagangan karbon dan jasa lingkungan lainnya. Untuk itu, pada tahap awal, Malinau mengalokasikan kawasan hutan lindung seluas 325.000 hektare. Dengan proyek itu, kata Direktur Utama Global Eco Rescue Indonesia, Laode M. Kamaluddin, perusahaan besar di negara maju bisa secara sukarela ikut dalam proyek penyerapan emisi gas rumah kaca di negara seperti Indonesia. Adapun dananya diambil dari Carbon Market Fund. Carbon Market Fund merupakan badan yang mengumpulkan uang pajak perusahaan swasta yang mencemari lingkungan. Besarnya pajak tergantung jumlah emisi gas rumah kaca yang mereka buang. Perusahaan-perusahaan itu wajib menurunkan emisinya dengan target tertentu. Artinya, mereka harus mengganti industrinya dengan teknologi ramah lingkungan. Besarnya emisi yang berhasil mereka turunkan dibuktikan dengan sertifikat reduksi emisi (CER). Untuk mencapai target penurunan emisi, perusahaan-perusahaan tersebut membeli CER dari tempat lain. Termasuk, dari negara berkembang yang memiliki hutan penyerap emisi karbon, seperti Indonesia. Sayangnya, kata pengamat iklim Eka Melisa, yang terjadi di negara maju akhirnya adalah perdagangan sertifikat penurunan emisi. Soalnya, biayanya lebih murah ketimbang mengembangkan teknologi baru. ''Yang diuntungkan adalah broker,'' katanya.Rita Triana Budiarti Post Date : 22 November 2007 |