Pembalikan Pengurusan Publik

Sumber:Kompas - 30 Desember 2009
Kategori:Climate

Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, untuk mengatasi pemburukan krisis pemanasan Bumi telah menjadi masalah baru bagi warga Bumi. Tujuan utama konferensi adalah untuk menghasilkan sebuah keputusan mengikat bagi semua pengurus negara anggota PBB, untuk masa seusai berakhirnya periode pertama Protokol Kyoto pada tahun 2012 nanti, telah gagal dicapai.

Sama sekali tidak ada alasan untuk merasa puas atas hasil Kopenhagen ataupun proses perundingannya, di mana beberapa negara industri maju bahkan telah menyusun rumusan kesepakatan sebelum konferensi dimulai.

Sebagai gantinya, Kopenhagen menghasilkan beberapa kesepakatan. Dua yang paling menonjol adalah sebagai berikut. Pertama, negara-negara pengguna bahan bakar fosil terbesar di bawah prakarsa Amerika Serikat menyatakan rencananya untuk menurunkan tingkat emisi karbonnya secara sendiri-sendiri; tanpa ikatan. Kedua, Uni Eropa dan AS berjanji mengeluarkan sebesar 10 miliar dollar AS per tahun sampai dengan 2012 untuk membantu negara-negara non-Annex I menurunkan intensitas emisi dari produksi dan konsumsinya. Sampai 2020, menurut keduanya, akan dibutuhkan dana 100 miliar dollar AS.

Kesepakatan sepihak dari negara-negara industri maju untuk menurunkan jumlah emisi karbonnya, tanpa aturan yang jelas dan mengikat secara hukum di bawah Konvensi Perubahan Iklim, ketika seharusnya tercapai rumusan baru yang lebih ketat daripada Protokol Kyoto untuk mengatasi krisis iklim, merupakan penundaan (lagi) tindakan koreksi yang sesungguhnya sudah sangat mendesak sifatnya.

Sehari sebelum perundingan Kopenhagen dimulai, sebuah jejaring riset energi independen mengumumkan hasil pemeriksaannya tentang peluang kenaikan suhu ekosfera sampai 2049, berdasarkan kenyataan produksi-konsumsi bahan bakar fosil (BBF) 2000-2006 serta berbagai proyeksi dari Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) dan badan-badan lain. Kalau tidak ada perubahan drastis dalam tujuan, cara, dan pilihan bahan bakar dari konsumsi energi, peluang kenaikan suhu adalah mendekati 3,5º celsius. Untuk menahan kenaikan suhu di bawah 2º celsius, tindakan minimum yang harus dilakukan adalah tidak membakar 3/4 cadangan BBF yang masih ada di perut Bumi. Artinya, harus berlangsung penggantian sumber energi primer secara besar-besaran dan sistematik sekarang juga.

Kajian energi SDE menunjukkan, arah ketentuan publik dari negara-negara maju dalam tiga dekade terakhir justru menunda substitusi BBF. Dari kepentingan akumulasi surplus produksi-konsumsi BBF, penundaan bersifat ”sudah semestinya”. Cadangan minyak mentah masih sekitar 1.294 miliar barrel (OPEC, 2008). Untuk gas dan batubara, angkanya masing-masing adalah 6.254 triliun cubic feet (EIA, 2009) dan 929 miliar ton (EIA, 2009). Dalam hal ini kesimpulan IPCC di Laporan Pemeriksaan Ketiga (2001) yang dikukuhkan pada laporan berikutnya (2007), yang menyatakan, fokus mitigasi dengan penurunan intensitas emisi karbon (baca: pergantian sumber energi primer) sebaiknya dilakukan setelah 2050, sementara untuk masa 2000-2050, mitigasi lebih baik difokuskan pada penurunan intensitas energi, terdengar seperti sebuah rekomendasi penundaan.

Pernyataan-pernyataan dari pelaku dominan industri energi global sendiri secara jujur mengemukakan logika kepentingan ”intern” tersebut. Bukan tanpa pertimbangan masak, kenapa mekanisme utama mitigasi emisi dominan dari produksi-konsumsi energi adalah perdagangan sertifikat jatah emisi karbon yang dikaitkan dengan aset stok karbon dari hutan di sabuk khatulistiwa. Dibaca dari dalam tungku dan ketel pembakaran industri, tak perlu dilakukan penurunan emisi atau produksi barang karena tambahan emisi karbon telah dijamin netral oleh ratusan juta hektar stok karbon terikat di Brasil, Indonesia, dan negeri-negeri berhutan lainnya. Ini mirip dengan jalan pikiran bahwa kita boleh terus menyulut kebakaran dan memperbesar apinya, selama kita sudah mengantongi sertifikat cadangan air pemadam kebakaran.

Cara dan pilihan sumber energi primer dalam produksi konsumsi energi saja tak akan menjadi jawaban untuk membalik kecenderungan pemburukan krisis. Pembesaran permintaan akan bahan bakar biologis (biofuel) akan mendorong krisis dalam harga dan ketersediaan bahan pangan.

Kemajuan teknik untuk menangkap kembali dan mengubur karbon emisi hanya akan bisa diterapkan secara sangat terbatas. Begitu pula, biaya dan resiko dari daur hidup pembangkit listrik reaksi nuklir bukan jawaban tepat terhadap krisis pemanasan bumi. Dengan situasi genting sekarang dan kenyataan politik yang memalukan dari Kopenhagen, kata kunci dalam produksi-konsumsi energi yang membutuhkan tindakan koreksi sudah bukan lagi energi terbarukan atau energi baru, melainkan moda produksi-konsumsi energi tandingan.

Pertanyaan utama yang harus mengemuka di ruang-ruang publik adalah: Apakah pembesaran produksi dan konsumsi energi dan bahan-bahan alam di setiap negara dimaksudkan dan dilakukan untuk mencapai syarat-syarat keselamatan manusia dan kelangsungan fungsi-fungsi faal ekosfera atau tetap hanya untuk melayani pembesaran ekonomi, beserta akumulasi dan pemusatan kemakmuran itu sendiri?

Pertanyaan tersebut nomor satu harus kita ajukan untuk Indonesia, dengan fakta berderet-deret tentang apa yang telah dan sedang berlangsung selama beberapa dekade terakhir di kepulauan Indonesia di bawah kendali pengurus publik. Pendek kata, tanpa pembaruan sistemik terhadap moda pengurusan publik, apa-apa yang telah berlangsung dan masih akan terus berlangsung di kepulauan Indonesia adalah perluasan sirkuit modal dan pembesaran produksi uang dan konsumsi barang yang memperburuk krisis. Tandingannya?

Pengurusan yang memulihkan kerusakan, menyelamatkan dan menyejahterakan warga, serta yang mampu menghentikan proses perusakan lebih lanjut dengan daya cipta dan kecerdasan akal budi kolektif kita sendiri.

HENDRO SANGKOYO Peneliti pada School of Democratic Economics



Post Date : 30 Desember 2009