Sampah menimbulkan persoalan pelik di sejumlah kota, termasuk DKI Jakarta. Ibu Kota negara ini tidak berkutik ketika berurusan dengan sampah. Contohnya, tempat pembuangan akhir Bantar Gebang, Bekasi, seluas 108 hektar masih menjadi andalan untuk menampung 6.000 ton sampah warga Jakarta tiap hari.
Keberadaan pembuangan sampah ini sering diprotes warga sekitar karena pencemaran udara, tanah, dan dampak sosial lain. Persoalan serupa juga terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat.
Produksi sampah dari 380 kota di Indonesia, menurut catatan Badan Pusat Statistik, mencapai lebih dari 80.000 ton per hari. Hampir 40 persen (sekitar 30.000 ton) sampah itu dibakar. Cara pembakaran di Indonesia saat ini tidak menggunakan temperatur tinggi sehingga mencemari lingkungan dan menghasilkan senyawa kimia berbahaya yang dikenal sebagai dioksin.
Senyawa ini dapat terbentuk pada pembakaran dengan temperatur 200-400 derajat celsius. Pembakaran mengubah sampah menjadi abu, gas sisa pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang dihasilkan, kalau tidak ingin mencemari udara, harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke atmosfer.
Namun, metode ini tidak dilakukan. Pembakaran sampah dilakukan secara terbuka menggunakan tungku pembakaran. Pembakaran tidak optimal menimbulkan beberapa kerugian, di antaranya borosnya bahan bakar, tingginya residu pascabakar, asap pembakaran dan partikulat yang mencemari lingkungan. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan sebesar 0,1-10 mikron.
Satu ton sampah menghasilkan sekitar 30 kilogram karbon monoksida (CO) akibat kurang oksigen. Pembakaran dengan insinerator pada temperatur 400-600 derajat celsius merupakan kondisi yang optimum untuk pembentukan senyawa dioksin. Pembakaran yang bersih hanya bisa dilakukan dalam api panas dan pasokan oksigen cukup.
Ramah lingkungan
Puslitbang Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum merancang tungku pembakaran sampah ramah lingkungan. Penelitian dilakukan Edi Supendi dan Tuti Kustiasih tahun 2010.
Tujuannya, mendapatkan teknologi tungku pembakaran sampah tepat guna, hemat bahan bakar, dan dapat digunakan dekat permukiman. Selain itu, mudah dioperasikan masyarakat, biayanya murah, dan aman terhadap lingkungan.
Tungku pembakaran sampah itu dibuat untuk skala komunal kecil 10-20 rumah. Polanya, mengatur perbedaan tekanan oksigen dalam rangka mendapatkan temperatur tinggi untuk memecah gas dioksin. Tungku terdiri dari ruang udara, ruang bakar, dan ruang penyaring. Pembakaran tak memakai bahan bakar, tetapi mengandalkan sampah itu sendiri.
Sampah yang dibakar terdiri dari sampah organik dan anorganik dengan kandungan air sekitar 40 persen. Tungku diberi sekat-sekat yang berfungsi mengalirkan sampah agar tidak masuk sekaligus ke tungku pembakar dan menyebabkan pembakaran tidak optimal.
Ada blower yang berfungsi menambah oksigen dan mempercepat aliran udara sehingga proses pembakaran lebih cepat dan temperatur diharapkan dapat tercapai. Ada water sprayer untuk membentuk kabut air dan mengikat partikulat sisa pembakaran dan mendinginkan udara dalam cerobong.
Ketika diujicobakan di lingkungan Kantor Puslitbang Permukiman, Bandung Timur, hasilnya cukup baik. Dilakukan pencatatan panas dan waktu pada inverter dan pengukur temperatur. Kualitas udara atau gas yang keluar juga diukur. Kualitas air buangan hasil penangkapan partikulat dengan water sprayer diukur terhadap parameter pH, total suspended solid, chemical oxygen demand dan biological oxygen demand. ”Kami terus menyempurnakan alat ini,” kata Edi.
Tungku pembakaran yang ramah lingkungan ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah sampah. Lahan pengolahan sangat efisien, yakni 2 meter x 4 meter untuk skala 20 rumah. Kapasitas tungku sekitar 2 meter kubik per jam. Temperatur tungku 800 derajat celsius untuk mencegah terbentuknya senyawa dioksin. Biaya pembuatan tungku sekitar Rp 30 juta.
Prototipe tungku pembakaran yang tak menghasilkan racun sudah dibuat. Tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat memanfaatkannya. Dedi Muhtadi
Post Date : 13 Juni 2011
|