Pembahasan Laut Belum Selesai

Sumber:Kompas - 02 Januari 2010
Kategori:Climate

Hiruk pikuk Konferensi Perubahan Iklim (COP) Ke-15 di Kopenhagen, Denmark, telah melahirkan kesepakatan yang tidak memuaskan semua pihak. Memang tidak mudah memenuhi keinginan lebih dari 190 negara. Tonny Wagey

Salah satu aspek penting terkait dengan pembahasan perubahan iklim yang seharusnya mendapat perhatian besar adalah isu kelautan.

Sampai saat ini isu kelautan tidak termasuk dalam teks ”Copenhagen Accord” (Kompas, 21 Desember, 2009), seperti yang diharapkan oleh sebagian besar negara kepulauan kecil dan pantai yang mewakili miliaran jiwa penduduk. Isu strategis lain, seperti hutan, industri, dan transportasi, memiliki nilai jual lebih tinggi daripada isu kelautan itu sendiri. Namun, apakah pembahasan isu kelautan dan perubahan iklim terhenti di sini? Sekurang-kurangnya, ada tiga alasan utama yang terekam dari rangkaian diskusi di Kopenhagen yang mendasari semangat untuk terus menyuarakan isu laut dan perubahan iklim.

Pertama, sampai saat ini, pembahasan dimensi kelautan lebih banyak ditekankan pada masalah adaptasi. Dalam naskah ”Ad-Hoc Working Group on Long Term Cooperation Action (AWG-LCA)” disebutkan secara eksplisit pentingnya memberikan perhatian kepada daerah-daerah rentan terhadap dampak perubahan iklim, antara lain daerah pesisir. Juga perlu mendapatkan perhatian serius soal kenaikan muka air laut, pemanasan global, dan pengasaman laut.

Pada bagian lain, penting pula disusun konsep perencanaan dan pengelolaan terpadu laut serta wilayah pesisir.

Kedua, di sela-sela perhelatan COP-15 di Kopenhagen, diselanggarakan pula pertemuan Hari Kelautan (Oceans Day) yang dihadiri oleh peserta tingkat tinggi dari sejumlah negara dan para ilmuwan terkemuka, yang acaranya dibuka Raja Monako Pangeran Albert II. Pemerintah Indonesia, yang diwakili Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, menyampaikan peran penting laut dalam pembangunan Indonesia, sekaligus memaparkan fakta bahwa laut dengan segala dinamikanya harus tetap dijaga sebagai penentu perubahan iklim global.

Hal senada diungkapkan Prof Ove Hoegh-Guldberg, ahli terkemuka dunia dalam bidang terumbu karang dan perubahan iklim dari Queensland University, Australia. Ia mengatakan, apabila kita tetap menghasilkan emisi karbon seperti saat ini tanpa ada upaya pengurangan, dipastikan dalam 40 tahun mendatang dunia akan kehilangan lebih dari separuh luas terumbu karang.

Indonesia dan negara-negara di Pasifik serta perairan tropis lainnya akan menjadi korban utama dari hilangnya terumbu karang dunia.

Tentunya kita tidak perlu menunggu lebih dari satu dekade untuk meyakinkan para pemimpin dunia bahwa laut sangat berperan dalam regulasi perubahan iklim. Selain itu, masyarakat pesisir juga tidak harus diungsikan karena permukaan laut sudah naik dan merendam pemukiman mereka.

Ketiga, kita harus mengakui masih kurangnya data ilmiah untuk menunjukkan seberapa besar peran laut dalam mereduksi dampak perubahan iklim meski secara global telah disepakati bahwa laut memang berperan dalam penyerapan karbon. Namun, apabila dilihat secara regional maupun nasional, ternyata para ilmuwan masih memperdebatkan. Apalagi dengan temuan para peneliti dunia yang sepakat mengatakan bahwa kemampuan laut untuk menyerap karbon telah berkurang. Dengan demikian, apabila kita tidak mampu menjaga fungsi laut sebagai penyerap karbon, dapat dipastikan kandungan gas rumah kaca, khususnya CO akan meningkat dengan tajam.

Aspek adaptasi

Dalam analisisnya, Dr Alan F Koropitan (Kompas, 30 November, 2009) membahas peran laut Indonesia dalam regulasi perubahan iklim dengan menyatakan bahwa sebaiknya pemahaman mengenai peran laut ditekankan pada aspek adaptasi (laut sebagai obyek) dibandingkan dengan mitigasi (laut sebagai pengendali). Dasar pemikiran tersebut merupakan tantangan bagi para peneliti kelautan Indonesia untuk melakukan kajian mengenai potensi laut Indonesia dalam solusi global pengurangan dampak perubahan iklim.

Para peneliti di Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah melakukan kajian awal dengan memanfaatkan data satelit kandungan fitoplankton (klorofil dan suhu air laut) di laut Indonesia untuk mengestimasi kandungan karbon yang terserap.

Ditengarai laut Indonesia mampu menyerap karbon sebesar 0,3 giga ton karbon per tahun. Sekalipun angka ini masih harus diverifikasi melalui kajian lapangan (in situ) serta memperhitungkan komponen lainnya, seperti interaksi atmosfer dan laut (solubility pump), langkah ini telah membuka kesempatan untuk melakukan riset lanjutan. Salah satu riset yang perlu mendapat perhatian adalah kemampuan ekosistem pesisir tropis yang didominasi oleh vegetasi laut, seperti mangrove, padang lamun, dan rawa payau, dalam mendeposisi kandungan karbon hasil fotosintesis.

Sejauh ini, konsep yang pertama kali dicanangkan oleh UNEP dan FAO itu dengan nama Blue Carbon masih belum mendapat perhatian dunia. Indonesia, dengan luasan mangrove serta padang lamun yang begitu besar, tentunya akan secara signifikan dapat memberikan kontribusi alami dalam proses penyerapan blue carbon. Kita tidak perlu menunggu riset dari luar negeri karena selayaknyalah ini adalah kesempatan emas untuk para peneliti Indonesia melakukan riset di wilayah kita sendiri.

Akhirnya, kita harus berani mengatakan bahwa masa depan bumi dan umat manusia sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola laut secara arif dan lestari.

Harapan kami isu laut dan perubahan iklim tetap menjadi perhatian nasional dan didengungkan terus pada COP-16 di Meksiko tahun 2010.

Dr Tonny Wagey Staf Pengajar Universitas Pattimura, Ambon; Peneliti Senior Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan



Post Date : 02 Januari 2010