|
Pemalang, Kompas - Musim kemarau tiga bulan ini membuat sejumlah kecamatan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, mengalami kekeringan dan kekurangan suplai air bersih. Kondisi ini diperparah dengan matinya sumber air yang selama ini menjadi sumber cadangan air akibat maraknya peladangan liar. Kekeringan paling parah terjadi di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Belik dan Pulosari, keduanya berada di kaki Gunung Slamet. Dari pantauan Kompas di dua kecamatan itu, Sabtu (5/8), warga hanya mengandalkan bantuan air dari pemerintah daerah setempat sembilan hari sekali. Air bantuan didatangkan dengan truk tangki. Setiap warga mendapat jatah dua jeriken, masing-masing berkapasitas 25 liter sampai 35 liter. Di Kecamatan Belik, dampak terparah terjadi di Desa Belik dan Gombong. Di Kecamatan Pulosari ada lima desa mengalami hal yang sama, yakni Clekethakan, Batursari, Siremeng, Penakir, dan Pulosari. Kepala Desa Gombong Yatin Sumantra mengungkapkan, krisis air bersih di desanya terjadi sejak sebulan silam setelah hujan tak pernah turun. Pada tahun-tahun sebelumnya, saat musim kemarau tiba, warga mengandalkan empat tuk (sumber air) di desa itu, yaitu tuk Karet, Gesing, Tembok, dan Ringin. "Namun, sumber air itu sekarang ikut kering. Airnya sedikit sekali, tak cukup lagi dipakai warga saat kemarau," ungkap Yatin. Matinya empat sumber air itu disebabkan rusaknya hutan di sekitarnya akibat pembukaan ladang oleh masyarakat. Hutan-hutan pinus milik Perhutani di wilayah itu telah berubah menjadi ladang sayuran. Akibatnya, air hujan tak bisa tersimpan di dalam tanah dan secara alamiah mengalir ke sumber air (tuk). Peladangan liar, kata dia, makin parah sejak pelaksanaan program pemanfaatan hutan bersama masyarakat dilaksanakan Perhutani. Masyarakat menanami lahan hutan sembarangan. Di Desa Siremeng, warga antre dari pukul 08.00 sampai 13.30 untuk mendapat jatah air yang dibagikan Pemerintah Kabupaten Pemalang yang digilir ke tiap RT. Jatah dua jeriken digunakan untuk mandi, minum, dan mencuci. "Untuk mandi jelas kurang. Di rumah saya ada empat orang, jadi mandinya bagi-bagi air dua ember," ungkap Wasilah, salah seorang warga Pulosari. Untuk mendapat air 10 liter dari tuk, butuh sekitar empat jam. "Itu pun harus jalan dua kilometer. Kadang airnya tak ada," kata Tarno (27), warga Desa Gombong. Mulai gunakan pompa Di Kalimantan Tengah, banyak petani mulai menggunakan pompa air untuk menyirami tanaman. Dalam sebulan terakhir hujan sudah jarang turun. Bagi petani, penggunaan pompa air menambah biaya, terutama untuk bahan bakar minyak tanah. Petani di Desa Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, misalnya, setiap hari mengeluarkan uang Rp 10.000-Rp 15.000. "Kalau tidak disirami, tanaman akan mati kekeringan," kata Purwanto, petani setempat. "Tiap hari kami harus menyiram tanaman dengan air sumur," ujarnya. Petani banyak yang membiarkan rumput tumbuh di sela-sela tanaman untuk mengurangi penguapan. Para petani menerapkan sistem tumpang sari agar masa panennya tidak bersamaan, guna menutup biaya. Pekan lalu Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang menuturkan, di musim kemarau ini pemerintah menyiapkan 40 pompa air, untuk mengantisipasi kekeringan padi di lahan rehabilitasi eks Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kabupaten Kapuas. (HAN/CAS) Post Date : 07 Agustus 2006 |