|
Nusa Dua, Kompas - Peluncuran Forest Carbon Partnership Facility atau FCPF yang diumumkan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/12) petang, diwarnai pandangan kritis dari ruang pertemuan dan unjuk rasa di luar ruangan oleh puluhan aktivis lingkungan yang berasal dari berbagai negara. Kami mengingatkan agar Bank Dunia tidak mengulang kesalahan di masa lalu karena banyak program bantuannya justru merugikan masyarakat lokal, kata Ketua United Na- tions Permanent Forum on Indigenous Issues Victoria Tauli- Corpus. Victoria Tauli-Corpus duduk bersama 12 wakil negara dan organisasi konservasi internasional yang mendanai 160 juta dollar AS dari 300 juta dollar AS untuk dua komponen FCPF, yakni readiness mechanism sebesar 100 juta dollar AS dan carbon finance mechanism 200 juta dollar AS. Masih belum ditentukan lima negara yang akan dijadikan proyek percobaan dari mekanisme pendanaan karbon, tetapi dapat dipastikan negara-negara pemilik hutan tropis yang luas dan masih lestari akan mendapatkannya. FCPF disiapkan untuk mendanai mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD). Deforestasi dan degradasi hutan tropis di Brasil dan Indonesia menyumbang 70-80 persen emisi di negara berkembang atau 20 persen dari emisi gas-gas rumah kaca total, ujar Zoellick. Prakarsa Bank Dunia itu juga ditanggapi sangat kritis oleh wakil negara penyumbang, seperti Belanda dan Jerman. Menteri Federal untuk Kerja Sama Pembangunan dan Ekonomi Jerman Heidemarie Wieczorek-Zeul mengatakan, Bank Dunia harus mengakui bahwa mereka pernah melakukan kesalahan dengan program-program serupa di negara berkembang. Semoga pendekatan baru ini tidak mengulangi kesalahan lama yang sudah dilakukan, ujar Heidemarie Wieczorek-Zeul. Dua wajah Menanggapi penanya yang meragukan cara Bank Dunia membantu masyarakat lokal, Zoellick mengatakan, pihaknya akan mendatangi dan bertanya langsung kepada masyarakat lokal. Victoria dalam berbagai kesempatan mengingatkan, cara seperti itu juga mengandung bahaya karena kesenjangan pengetahuan. Kasus di Ekuador dan Ugan- da memperlihatkan masyarakat adat tiba-tiba tidak bisa lagi memasuki hutan mereka setelah menandatangani kontrak bantuan. Sejumlah wartawan menanyakan sikap mendua Bank Dunia, yang di satu sisi bersikap peduli terhadap lingkungan dan keadilan, tetapi di sisi lain mendanai industri ekstraksi yang merusak lingkungan dan melanggar hak-hak asasi manusia. Wajah Bank Dunia sebenarnya tetap satu, yakni wajah bisnis yang hanya peduli keuntungan, kata Longgena Ginting dari Friends of the Earth International yang berorasi di luar ruangan. Ia mengatakan, mekanisme REDD bukan solusi bagi penurunan emisi, sebaliknya berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan dengan masyarakat adat. (AIK/MH) Post Date : 12 Desember 2007 |