Kelompok Wahana Anak Pantai di Pandeglang menyuguhkan atraksi wisata sembari menanam terumbu karang. Menciptakan harmoni lingkungan dan ekonomi. Mendapat anugerah Coastal Award 2010.
Pukul enam pagi,Rudi Asja bergegas menuju perahu yang ditambatkan di tepi pantai Desa Tanjung Jaya, Pandeglang, Banten. Hawa dingin setelah semalam diguyur hujan, Ahad pekan lalu, tidak menghalangi langkahnya. Enam orang kru perahu menyambut Rudi, pembina Wahana Anak Pantai (WAP) itu, yang didampingi Arif Bijaksana, Ketua WAP yang baru.
Perahu bermesin diesel itu pun melaju perlahan. ''Sebelum menuju lokasi transplantasi terumbu karang, kita lihat wisata camar dulu,'' ucap Rudi kepada Gatra.
Tak sampai 15 menit, perahu tiba di lokasi penangkap ikan yang disebut sero. Bentuknya kotak seperti bagan, terbuat dari bambu tapi di tengahnya dilengkapi jaring yang dipasang lurus dengan bambu agar masuk ke penampungan. Kru pun langsung mengambil ikan yang tertangkap jaring. Ada ikan kerapu, cucut, teri, pepetek, gurita, cumi, udang, belut, dan lain-lain ''Lihat, Mas, camarnya langsung mendekat,'' kata Rudi.
Arif dengan lugas mengambil ikan-ikan kecil dan menebarnya ke udara. Benar saja, rombongan camar langsung menyambar ikan-ikan itu. Atraksi camar ini menjadi hiburan dalam perjalanan yang cukup menyenangkan. Uniknya, gerombolan camar itu terus mengikuti perahu, mungkin berharap diberi makanan lebih banyak.
Perahu beranjak pergi menuju lokasi transplantasi terumbu karang, yang letaknya di sebelah selatan Pulau Liwungan. Panas matahari mulai terik dan udara berembus menyentuh kulit. Jarak "kebun terumbu karang" dengan Pulau Liwungan sekitar 200 meter. ''Sekeliling Pulau Liwungan memang menjadi lokasi terumbu karang, tapi banyak yang rusak,'' ungkap Rudi.
Pria kelahiran Lampung, 25 Maret 1975, itu memilih lokasi penanaman terumbu karang di selatan Pulau Liwungan, karena di situ kerusakannya paling parah. ''Hanya tersisa 30% yang masih bagus,'' ungkapnya.
Tiba di lokasi, anggota WAP sigap bekerja. Mereka mengangkat terumbu karang warna kemerahan yang telah disiapkan. Arif segera melepas pakaian dan memakai kacamata snorkeling. Byur... ia menyelam hingga kedalaman empat sampai lima meter, disusul oleh Rudi dan beberapa anggota WAP lainnya.
Beberapa saat mereka memantau terumbu karang yang baru ditanam, sembari melihat keindahan ikan-ikan penuh warna di sekitarnya. Tak lama kemudian, Arif dengan tiga kru mengangkat bibit terumbu karang yang masih melekat dengan subserat beserta raknya dari dasar laut. ''Ini yang baru ditaruh Juli lalu,'' kata pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 1 Juni 1975 itu. Setelah kondisinya dicek, terumbu karang pun ditaruh kembali di dasar laut.
Sesi berikutnya, mereka mulai melakukan transplantasi terumbu karang. ''Ini bibit yang baik. Warna terumbu karangnya tidak pucat dan masih mengeluarkan lendir di ujung tangkainya,'' kata Rudi sembari menunjuk terumbu karang yang baru diangkatnya.
Dalam proses transplantasi, terumbu karang tidak boleh berada di tempat kering lebih dari 10 menit. ''Harus segera ditaruh kembali ke dalam air, karena ia binatang yang tidak tahan di darat,'' ungkap Rudi.
Alat untuk transplantasi terumbu karang pun sudah disiapkan, yakni rak kotak yang terbuat dari bambu berukuran 100 x 80 sentimeter, lengkap dengan jaring di tengahnya yang memuat 10 subserat yang terbuat dari campuran semen dengan pasir. Di bagian tengah subserat itu dipasang pralon berdiameter sekitar dua sentimeter. ''Diameter subseratnya 5-6 cm, sedangkan tinggi pralonnya lima-enam sentimeter,'' ujar Rudi sembari memotong terumbu karang untuk bibit.
Terumbu karang yang dipotong minimal memiliki tiga cabang dan tingginya paling rendah tujuh sentimeter. Bibit ini kemudian diikat dengan klem di pralon subserat. Jarak antar-bibit terumbu karang minimal 10-15 sentimeter.
Bibit yang sudah diikatkan ke subserat lalu diberi label dan pemberat, kemudian diletakkan di dasar laut. Tentu dengan memperhitungkan kedalaman dan keadaan air. Pasalnya, banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya. Misalnya, kedalaman minimal empat meter dan air harus jernih, tidak banyak endapan, serta masih bisa mendapatkan sinar matahari, karena terumbu karang juga melakukan fotosintesis.
Menurut Rudi, pertumbuhan terumbu karang diperkirakan mencapai satu-tiga sentimeter per hari. ''Semakin dalam tempatnya, semakin bagus hasilnya,'' ujar pria alumnus Jurusan Tambang, Universitas Islam Bandung, itu.
Teknologi transplantasi terumbu karang yang digunakan tim Rudi termasuk ramah lingkungan dan ekonomis karena terbuat dari bambu, jaring, pralon, dan pasir yang memang berasal dari limbah masyarakat. ''Kami manfaatkan barang bekas yang sudah tak terpakai,'' ungkapnya. Usai penanaman bibit-bibit baru, mereka pun langsung kembali ke Kampung Nelayan Cipanon, Desa Tanjung Jaya.
Aktivitas menanam terumbu karang itu rutin digelar oleh kelompok WAP, didukung Banten West Java (BWJ), perusahaan pengelola kawasan wisata Tanjung Lesung. Kegiatan tersebut dikemas dalam paket wisata ekosistem, bersama sejumlah aktivitas lain, seperti wisata kampung nelayan dan wisata Pulau Liwungan, hingga penanaman terumbu karang.
Uniknya, nama para konservan (istilah untuk wisatawan yang terlibat dalam konservasi terumbu karang) dipahat pada lempeng besi yang dikaitkan pada "benih" terumbu karang yang akan ditanam. Dalam waktu 36 bulan, "benih" terumbu karang itu akan tumbuh besar dan bercabang.
Aktivitas wisata semacam ini boleh dibilang baru di Indonesia dan hanya ada di Tanjung Lesung. Inilah wujud upaya pelestarian biota laut yang menarik karena dikemas dalam nuansa wisata yang tidak membosankan. Menurut Rudi, sudah terbilang 600 konservan dan 54 jaring terumbu karang yang ditanam sejak kawasan wisata Tanjung Lesung dibuka pada 2005. Rencananya, menurut Rudi, pada 2011 pihaknya akan menanam 1.000 terumbu karang secara serentak dari swadaya masyarakat. ''Gerakan menanam terumbu karang itu untuk tujuan pelestarian alam,'' ujarnya.
Jerih payah tak kenal lelah itu mendatangkan anugerah. Tidak saja bagi masyarakat nelayan di pantai Cipanon, yang kini menjadi lebih sejahtera, melainkan juga bagi kelompok WAP. Bersamaan dengan gelaran Sail Banda, beberapa waktu lalu, mereka dianugerahi Coastal Award 2010 untuk kategori kelompok masyarakat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
''Mereka telah melestarikan pesisir pantai, mendorong pemberdayaan masyarakat, dan ikut mendukung kebijakan pemerintah di daerah tersebut,'' kata Sudirman Saad, Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebagai hadiah, WAP berhak memboyong satu sepeda motor.
Sudirman berharap, WAP bisa menginspirasi kelompok masyarakat pesisir di seluruh Indonesia. Menurut dia, konsep yang dijalankan WAP sejatinya bukan hal baru. ''Tapi pemerintah mengapresiasi inisiatif mereka dan efektivitasnya dalam membangun daerah pantai,'' ungkapnya. Sudirman mengakui, metodologi inisiasi yang dijalankan WAP berbeda dari kelompok lain. ''Selain mampu membangun kemitraan, mereka bisa berintegrasi dengan program yang dijalankan pemerintah,'' Sudirman menambahkan. Kuncinya adalah kemitraan.
Berkah Musim Paceklik
Musim paceklik terasa menyiksa bagi nelayan tradisional di desa Tanjung Jaya. Pasalnya, ketika cuaca tidak mendukung, ikan pun sulit ditangkap. Masa sulit itu biasanya dimulai pada saat musim angin Barat mulai berembus. ''Selama enam bulan, penghasilan kami ngedrop karena tangkapan ikan menurun drastis,'' ujar Tono, nelayan yang kini bergabung dalam komunitas Wahana Anak Pantai (WAP).
Kondisi itu diakui Iis, Manajer Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Citeureup, Tanjung Lesung. Dalam 10 tahun terakhir, menurut dia, masalahnya selalu terulang. ''Tidak ada upaya dan bantuan untuk mengatasi musim paceklik,'' ungkapnya. Jika memasuki musim paceklik, aktivitas di TPI menurun drastis.
Nurani Rudi Asja tergugah melihat kondisi tersebut. Ia kemudian merintis lahirnya WAP di bawah payung Yayasan Pengembangan Masyarakat Banten Selatan untuk membantu nelayan agar mandiri. WAP yang beranggota 25 pemuda setempat itu cukup efektif dalam mendongkrak ekonomi masyarakat nelayan di pantai Cipanon.
Kelompok anak muda itu menelurkan ide-ide kreatif, antara lain menciptakan ekowisata, yakni paket wisata bersama nelayan. Wisatawan diajak melihat aktifitas di kampung nelayan, lalu naik perahu melintasi pesisir, memberi makan burung camar serta terlibat langsung dalam transplantasi terumbu karang. Kegiatan tersebut didukung oleh pengelola Resor Tanjung Lesung.
Pada saat musim wisata tiba, para pemuda di WAP mengantongi Rp 500.000 sebulan. Pemandu wisata mendapat Rp 50.000 sekali melaut, ABK Rp 20.000. Warga yang membuka warung makanan khas dan kerajinan kecil pun ikut kecipratan rezeki.
WAP juga mengajarkan nelayan untuk membuat keramba sebagai penangkaran ikan, lobster, udang dan lainnya. ''Ini juga penting untuk membuat nelayan semakin mandiri, jangan hanya bisa menangkap saja tapi juga bisa mengelolanya, karena dengan penangkaran ikan ini bisa membantu di masa paceklik,'' katanya. Heru Pamuji, Gandi Achmad, dan Rukmi Hapsari
Post Date : 08 Desember 2010
|