I. Krisis Air Sekitar 65 persen penduduk Indonesia atau sekitar 125 juta jiwa menetap di Pulau Jawa yang luasnya hanya tujuh persen dari seluruh luas daratan Indonesia. Sementara dari sudut potensi air hanyalah 4,5 persen dari total potensi air di Indonesia sehingga menimbulkan benturan kepentingan. Dipandang dari segi pengembangan sumber daya air, permasalahan air di Jawa termasuk kategori kritis.
Kerusakan Sungai Sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Dari 64 DAS kritis tersebut, berada di Sumatera 12 DAS, Jawa 26 DAS, Kalimantan 10 DAS, Sulawesi 10 DAS, Bali, NTB dan NTT 4 DAS, Maluku serta Papua 2 DAS.
Pencemaran Sungai Kualitas air sungai di Indonesia pada umumnya telah dipengaruhi oleh limbah domestik yang masuk ke badan air di samping limbah lainnya yang berasal dari industri, pertanian maupun peternakan.
Pemantauan kualitas air sungai dilakukan di 30 propinsi Indonesia tahun 2004 dengan frekwensi pengambilan sampel sebanyak dua kali dalam setahun. Hasil pemantauan menunjukkan parameter DO, BOD, COD, fecal coli dan total coliform mayoritas sudah tidak memenuhi kriteria mutu air kelas I menurut PP 82 Tahun 2001.1
Untuk parameter biologi, fecal coli dan total coliform dapat dikatakan bahwa mayoritas sungai yang terdapat di kota padat penduduk seperti di pulau Jawa cenderung lebih tercemar oleh bakteri tersebut, seperti di Sungai Progo (Jateng dan Yogyakarta), Sungai Ciliwung (Jakarta), dan Sungai Citarum (Jawa Barat).
Pencemaran Air Tanah Pemantauan terhadap 48 sumur dilakukan di Jakarta pada tahun 2004. Hasil pemantauan menunjukkan hampir sebagian besar sumur yang dipantau telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter Coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 63% pada bulan Juni dan 67% pada bulan Oktober.
Kualitas besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta terlihat semakin meningkat, dimana beberapa sumur memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Presentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu Mn di seluruh DKI Jakarta secara umum sebesar 27% pada bulan Juni dan meningkat pada bulan Oktober sebesar 33%. Untuk parameter detergen (MBAS), presentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI Jakarta sebesar 29% pada bulan Juni dan meningkat menjadi 46% pada bulan Oktober.
Umumnya, air sumur yang didapat berwarna kuning dan agak berbau. Ditambah lagi, hanya 400 dari sekitar 4,000 industri di Jakarta yang mengelola limbahnya. Tidak ada sistem sanitasi di Jakarta sehingga air limbah seluruhnya dibuang ke sungai. Hanya sekitar 2 % air limbah di Jakarta mengalir ke instalasi pengolah air limbah, yang umumnya hanya melayani gedung perkantoran dan sejumlah perumahan. Sekitar 39% warga Jakarta memiliki septic tank, dan 20 % menggunakan lubang WC biasa (pit latrines).
II. Air Minum Hanya sekitar 40 % warga di perkotaan dan kurang dari 30 % warga pedesaaan. yang tersambung dengan jaringan air minum (PAM). Air minum langsung (potabel water) tidak dibangun di Indonesia sehingga air dari keran harus dimasak terlebih dahulu. Bagi warga perkotaan yang tidak terlayani oleh jaringan pipa air minum, sumber air minum berasal dari air tanah, air kemasan, atau dari penjual air keliling.
Dari 306 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada di Indonesia, hanya 10 % yang dalam keadaan sehat. Selebihnya (90%) dalam keadaaan kurang baik dan beberapa diantaranya kondisi kritis. Pemerintah merencanakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada PDAM yang kolaps. Langkah tersebut merupakan bagian dari restrukturisasi PDAM yang dimulai tahun depan.
Pengalaman: Privatisasi Air Jakarta Dari sisi pelayanan, paska privatisasi kepada kedua mitra asing, tidak mengalami perbaikan dan peningkatan yang berarti. Ini terlihat dari sejumlah indikator utama kualitas pelayanan air minum. Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak mencapai ketentuan kontrak, dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah kinerja PAM Jaya. Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak dan harapan masyarakat. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM Jaya sebesar 53 %, kini berkisar pada angka 48%. Namun, untuk menekan tingkat kebocoran (non revenue water) kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan pengoperasian mesin pompa yang terdapat disetiap instalasi. Dampaknya sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya malah mengalami kekurangan air (Komparta, 2005). Pelanggan Air Minum Sebelum terjadi privatisasi pertambahan pelanggan baru periode 1988-awal 1998 mencapai antara 9.698-63.934 pelanggan per tahun.(tabe 9l). Sedangkan setelah privatisasi, pertambahan jumlah pelanggan justru merosot drastis. Pada 1998, antara Februari-Desember, dua mitra swasta meraup pelanggan baru sebanyak 21.533 pelanggan. Jumlah ini jauh lebih kecil dari perolehan pelanggan baru yang digaet PAM Jaya pada 1997 sebelum terjasi privatisasi yaitu 63.934 pelanggan baru.
Bahkan, pada 1999 (semester pertama) perolehan pelanggan baru dua mitra swasta asing merosot tajam menjadi hanya 4.879. Bandingkan dengan perolehan PAM Jaya sebelum terjadi privatisasi pada Januari 1998 (Perolehan pelanggan baru untuk satu bulan) sebesar 5.804. Sedangkan dari sisi rasio warga yang terjangkau sebelum dan sesudah privatisasi tidak berubah signifikan. Pada 1997 sebelum privatisasi dilakukan, sebanyak 52% warga Jakarta terjangkau PAM Jaya. Sedangkan setelah privatisasi menjadi 59% (2002). Kualitas Air PDAM Sementara dari sisi kualitas air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada 1998 misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen sebesar 0,17 mg/l. Padahal standar konsentrasi deterjen adalah 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016 mg/l). (tabel 14)
Tarif Air Tarif air di jakarta rata-rata Rp. 5.000 permeter kubik, termasuk yang paling tinggi di Indonesia. Tarif tinggi karena sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp. 1.700. Tariff terus mengalami kenaikan karena inflasi, dan kenaikan tarif otomatis tiap semester (6 bulan). Dari tariff demikian, sebanyak Rp. 4.600 untuk membayar imbaln kepada operator asing (PDAM Lyonnaise dan ThamesPAM Jaya). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, defisit, serta badan regulator. Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui Pemerintah, maka kedua operator asing akan membebankan selisih Water Charge (imbalan air) dan Tariff Air kepada Pemerintah DKI sebagai utang. Saat ini Pemerintah DKI justru memiliki hutang sekitar Rp. 900 milliar kepada operator asing karena tariff air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001. Pelayanan Sementara mengenai tingkat layanan, warga menganggap kualitas air minum setelah privatisasi tetap keruh dan berbau tidak sedap. Demikian pengakuan warga yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pelanggan dan Masyarakat (FKPM). Selain mengeluh soal kualitas air minum, warga juga mempersoalkan distribusi air bersih yang tidak merata. "Rumah yang berada di pinggir jalan besar bisa mendapat air dengan lancar, sementara rumah di tengah perkampungan airnya sering mati," kata Ahmad Syarifudin, Ketua Dewan Kelurahan (Dekel) Semper Barat, Jakarta Utara. Distribusi air yang tidak merata akibat kecilnya tekanan air dikeluhkan anggota Lembaga Masyarakat Kota Jakarta Barat, Sukarlan. Menurut dia, selama bertahun-tahun warga di Kelurahan Kedaung, Kaliangke, Jakarta Barat, harus mencari air sekitar pukul 03.00 karena air baru mengalir pada jam-jam tersebut. Warga perumahan Taman Palem Lestari, Cengkareng, Jakarta Barat juga mengaku sering frustasi terhadap pelayanan PT Pam Lyonnaise Jaya (Palyja) yang dianggapnya tidak peka terhadap kesulitan yang dialami konsumennya. Mereka mengeluh meski air tidak menetes, tagihan rekening terus mengalir. Itu baru keluhan warga secara individual. Bagaimana gambaran warga secara keseluruhan terhadap Themes Jaya dan Palyja? Studi yang dilakukan dalam rangka Ex-Post Evaluation For ODA Loan Projects (2001) menyatakan bahwa bahwa sekitar 40% responden tidak puas dengan layanan Thames PAM Jaya.
Post Date : 08 Mei 2009
|