|
LONGSORAN yang terjadi pada timbunan sampah setinggi lebih kurang 30 meter di lokasi open dumping TPA Leuwigajah pada hari Senin, 21 Februari, merupakan peristiwa bencana dahsyat yang telah menelan lebih dari 100 jiwa penduduk dan menyebabkan kerugian material serta kerusakan lingkungan di sekitar lokasi TPA sampah tersebut. Peristiwa ini mengingatkan kita pada bencana serupa di Filipina pada bulan Juli 2000 yang menelan lebih kurang 200 jiwa penduduk. Dari peristiwa bencana longsor di lokasi pembuangan sampah tipe open dumping, kita mendapatkan beberapa pelajaran yang sangat berharga untuk mencegah bencana serupa terjadi di lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sejenis di daerah lain di Indonesia. Dari aspek teknis, sistem open dumping yang dilakukan di lembah bukit mempunyai potensi bahaya yang sangat besar, yaitu kemungkinan longsor pada saat musim hujan lebat. Infiltrasi air hujan melalui rongga pada material sampah yang tidak terpadatkan dengan baik dan melalui batas antara timbunan dan lereng batuan/tanah dasar yang kedap air membentuk muka air (water table) pada batas dasar timbunan sampah dan lapisan batuan/tanah dasar . Proses penjenuhan dan pembentukan muka air ini menyebabkan pelunakan lapisan bawah timbunan sehingga tidak mampu menopang berat beban timbunan di atasnya sehingga terjadi longsor. Oleh karena itu, adanya sistem drainase air resapan dan air permukaan yang baik merupakan suatu keharusan pada TPA sampah untuk mencegah pembentukan muka air di dalam timbunan sampah. Timbunan sampah yang terlalu tinggi dari lapisan batuan/tanah dasar dapat menimbulkan beban berlebih di bagian bawah timbunan sehingga dapat mengganggu kestabilan timbunan tersebut di saat musim hujan. Kajian yang tepat mengenai ambang batas ketinggian timbunan perlu dilakukan untuk mencegah beban yang berlebih pada dasar timbunan. Banyaknya korban jiwa akibat longsor di TPA Leuwigajah disebabkan oleh longsoran timbunan sampah yang berubah dari jenis nendatan (slump) menjadi aliran material sampah (debris flow) karena keberadaan daerah persawahan (genangan air) di kaki lereng, yang mengubah material sampah menjadi bubur yang dapat mengalir di atas tanaman padi, yang kemudian menerjang lokasi permukiman penduduk yang berada di sekitar persawahan tersebut dengan kecepatan yang bisa mencapai 56 kilometer per jam meskipun kemiringan lereng melandai. Untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan kerugian material, pembangunan TPA sampah, terutama sistem open dumping, harus berada di lingkungan yang bebas dari daerah persawahan dan permukiman di kaki lereng. Selain itu, diperlukan juga dukungan penegakan hukum dan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak membangun hunian di sekitar lokasi TPA sampah. Peristiwa longsor di TPA Leuwigajah juga menunjukkan tidak dilakukannya evaluasi kestabilan lereng timbunan selama operasional TPA sampah ini. Kegiatan evaluasi ini sangat penting mengingat peristiwa longsor kecil telah terjadi beberapa tahun sebelumnya, yang mengindikasikan bahwa lereng timbunan dalam kondisi yang tidak cukup stabil. Untuk menunjang kegiatan analisis dan evaluasi lereng timbunan selama proses penimbunan, diperlukan data topografi lokasi sebelum dan selama proses penimbunan, data geologi daerah penimbunan, data keteknikan dan hidrologi lapisan batuan/tanah dasar. Mengingat volume timbunan sampah di TPA yang sangat besar, peta bahaya longsor di lokasi TPA sampah dan daerah sekitarnya dalam skala operasional (1:1.000) diperlukan oleh pihak pengelola sampah untuk mengetahui probabilitas longsor pada timbunan sampah tahunan. Peta ini memperlihatkan tidak hanya kemungkinan suatu longsor terbentuk pada suatu tempat di daerah timbunan dan kemungkinan longsor dari lokasi lain melanda daerah penimbunan, tetapi juga memperlihatkan daerah dampak apabila longsor terjadi. Dengan memerhatikan semua pelajaran berharga itu, peristiwa bencana longsor di TPA Leuwigajah ini hendaknya dapat dijadikan pelajaran oleh pihak pengelola sampah dan pemerintah daerah terkait untuk dapat berperan aktif dan bertanggung jawab untuk melakukan upaya mitigasi bahaya longsor sampah. Kita tidak harus selalu menyalahkan alam atas terjadinya suatu bencana yang mungkin sebenarnya dapat kita hindari apabila kita telah melakukan upaya mitigasi. Tidak perlu menunggu sampai jatuh korban jiwa untuk menyadari bahwa kesalahan sebenarnya karena kelalaian kita sendiri. Dr Ir Adrin Tohari MEng Peneliti Bahaya Tanah Longsor Puslit Geoteknologi LIPI, Bandung Post Date : 24 Maret 2005 |