Pelabuhan Sunda Kelapa pun Kini Dirusak Sampah

Sumber:Sinar Harapan - 14 Mei 2005
Kategori:Sampah Jakarta
JAKARTA - Pelabuhan Sunda Kelapa kini berfungsi sebagai pelabuhan kayu. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal phinisi atau Bugis Schooner dengan bentuk khas: meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Setiap hari tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk bongkar muat terutama kayu yang dari Pulau Kalimantan.

Pelabuhan yang satu ini boleh dibilang sebagai pelabuhan tertua karena namanya sudah tersohor sejak abad ke-12. Waktu itu pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik kerajaan Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat. Kapal-kapal asing dari Cina, Jepang, India Selatan dan Arab berlabuh di sana membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah.

Bangsa Portugis tiba di Sunda Kelapa 1512 mencari peluang perdagangan rempah-rempah. Keberadaan mereka ternyata tidak berlangsung lama, setelah gabungan kekuatan Muslim Banten dan Demak dipimpin Sunan Gunungjati (Fatahillah), menguasai Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta yang artinya kemenangan yang nyata pada 22 Juni 1527.

Setelah Portugis hengkang, para pedagang asal Belanda tiba 1596 dengan tujuan sama: mencari rempah-rempah. Rempah-rempah sangat dicari saat itu dan menjadi komoditas yang paling banyak dicari di Belanda terutama karena khasiatnya seperti untuk obat, penghangat badan, dan bahan wangi-wangian. Awalnya kedatangan pedagang Belanda yang lalu tergabung dalam Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendapat sambutan hangat dari Pangeran Wijayakrama dan dibuatlah sebuah perjanjian.

Tergiur dengan potensi pendapatan tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara asalnya, VOC ingkar janji dan mendirikan benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Benteng ini, selain berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang, juga digunakan sebagai benteng untuk menghadapi pasukan Inggris yang juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara.

Benteng itu dibangun 1613, sekitar 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara menempati salah satu bastion (sudut benteng) yang tersisa.

Sekitar 50 meter ke arah barat menara terdapat Museum Bahari. Di dalam museum ini dapat disaksikan peralatan asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang berhubungan dengan dunia bahari di Indonesia, mulai dari zaman kerajaan hingga ekspedisi modern.

Museum ini sebetulnya menempati bangunan gudang tempat menyimpan barang-barang dagang VOC di abad 17 dan 18, dan tetap dipertahankan kondisi aslinya untuk kegiatan pariwisata. Bahkan, sebagian bangunannya bisa disewa untuk acara-acara pribadi. Pada sisi utara museum masih terdapat benteng asli yang menjadi benteng bagian utara.

Memasuki Jalan Tongkol di selatan museum, kita akan tiba di lokasi bekas bengkel kapal VOC atau dikenal juga dengan VOC Shipyard. Di sini, pada masa lalu, kapal-kapal yang rusak diperbaiki. Saat ini, bangunan memanjang dengan jendela-jendela segi tiga di atapnya tersebut direvitalisasi sebagai restoran dengan tetap mempertahankan arsitektur aslinya.

Menarik Wisatawan

Menurut peneliti dari Universitas Negeri Jakarta, Ataswarin Kamariah Moewardi Bambang Sarah, Pelabuhan Sunda Kelapa masih layak disebut sebagai daerah ekowisata sebab pemandangan alam lautan yang ada di daerah tersebut sangat indah dan menarik. Namun keindahan alam di Pelabuhan Sunda Kelapa ini tidak diimbangi dengan faktor kebersihan.

Dia menjelaskan hasil penelitian pada 2002 tentang etika lingkungan masyarakat daerah ekowisata dengan objek penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, wilayah tersebut layak dijadikan daerah ekowisata. Daerah ekowisata merupakan daerah yang kaya akan pemandangan alamnya seperti laut dan gunung. Kekayaan alam inilah yang akhirnya menarik perhatian para wisatawan baik lokal maupun asing.

Sayangnya, pada tahun 2002 itu, saya menemukan sedikit wisatawan yang berkunjung ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Mungkin keindahan laut yang ada di wilayah itu tidak diimbangi dengan kondisi kebersihan. Begitu banyak sampah di sana, belum lagi dekat dengan pemukiman kumuh, ujarnya. Menurutnya, Pelabuhan Sunda Kelapa jika dikelola baik dapat menarik perhatian para wisatawan. Apalagi di daerah tersebut terdapat sebuah musium bahari. Untuk itu dia mengimbau Pemda Jakarta memberikan perhatian khusus terutama menyangkut kebersihan terhadap daerah ekowisata seperti Pelabuhan Sunda Kelapa ini.

Ia mengatakan, warga daerah ekowisata sebagai pelaku utama dalam industri pariwisata merupakan komponen berarti dalam menyumbangkan peran sertanya terhadap pemeliharaan lingkungan. Ditambahkannya, selayaknya masyarakat mengerti dan menyadari bahawa tanggungjawab pemeliharaan lingkungan hidup merupakan tanggungjawab bersama. Karena itu masyarakat di daerah ekowisata dapat mewujudkan harapan berdasarkan etika lingkungan masyarakat setempat.

Etika lingkungan masyarakat daerah ekowisata yang dimaksud adalah perilaku masyarakat dalam terwujudnya moral lingkungan yang mengarah pada tindakan yang menghormati dan menghargai alam dan lingkungan, tenggang rasa pada kehidupan makhluk hidup dengan bertanggungjawab untuk tidak merusak lingkungan.

Ada beberapa upaya untuk meningkatkan sikap masyarakat terhadap lingkungan ekowisata. Pertama, komponen kognitif seorang warga masyarakat dapat dibentuk dan diarahkan untuk senantiasa berusaha dengan berorientasi pada pelestarian daerah ekowisata. Kedua, komponen afektif yang menyangkut emosional individu warga masyarakat harus dibentuk melalui suatu keadaan atau apa yang membuat seseorang menyadari bahwa apa yang dilakukannya sangat bermakna. (SH/stevani elisabeth)

Post Date : 14 Mei 2005