Saya punya kenangan tak terlupakan tentang air. Waktu kecil, setiap mengaji, selain membawa Al Quran, kami juga membawa ember. Sebelum mulai mengaji, kami berlari ke sumber air membawa ember, mengisinya dengan air. Lalu menuangkannya ke gentong di rumah pengajar ngaji. Setiap anak mengambil air 2-4 ember. Itulah cara kami membayar upah mengaji.
Kadang kami datang menjelang waktu mengaji. Akibatnya, kami harus berlari dengan air di ember, membuat air tumpah berceceran sepanjang jalan. Baju kami basah dan anak perempuan yang menjinjing ember di atas kepala seperti baru mandi.
Kadang hanya tersisa sedikit air di ember. Itu membuat guru ngaji cemberut. Saat tak beruntung, kami disuruh kembali lagi mengambil air. Paling apes, kami disuruh pulang karena sudah telat mengaji.
Air menjadi bagian tak terpisahkan dari anak-anak yang tinggal di pedesaan. Di desa-desa di Pulau Sumbawa, tempat saya tinggal, anak-anaklah yang bertugas mengambil air untuk keperluan rumah tangga.
Pernah ada program pengadaan air bersih, tetapi entah mengapa air tak mengalir lagi di pipa sehingga anak-anak harus mengangkat air dari sumber air. Ini sama seperti dulu. Saat musim kemarau tiba, kami menggali tepi sungai, membuat buen, sumur kecil berisi air bersih untuk ditimba.
Pada musim penghujan, sungai penuh air. Kami menampung air dari talang air rumah, memasukkannya ke ember. Saat harus mandi pagi sebelum ke sekolah, airnya dingin sekali. Ini cukup menyiksa.
Kami juga mengambil air dari sumur yang jauh letaknya dari rumah. Kami membawa ember sebesar yang bisa dibawa dengan dua tangan agar dapat membawa air sebanyak mungkin. Ini supaya kami tak harus bolak-balik mengambil air. Tentu saja, tangan kami yang kecil terasa mau putus memegang ember besar itu.
Jika menggunakan jeriken, bahu kami pegal. Belum lagi saat menimba air sumur yang cukup dalam dengan tali besar tanpa kerekan. Kami harus mencemplungkan tali dan ember ke sumur, menariknya lagi sekuat tenaga. Banyak ember tercemplung di dalam sumur.
Keluarga yang cukup kaya menggunakan mesin air bertenaga listrik, tetapi tak selalu berjalan lancar sebab listrik sering mati. Umumnya keluarga di kampung saya tak kaya, jadi anak-anak tetap harus berjuang mendapatkan air.
Bukit terjal
Selain menanam padi di sawah, warga di Pulau Sumbawa juga membuka lahan untuk menanam padi gogo (padi yang bergantung pada air hujan). Letak huma kami cukup jauh dari perkampungan sehingga harus mencari sumber air terdekat dengan huma.
Kadang kami mengambil air di lereng bukit terjal. Air ini untuk memasak, minum, sekaligus campuran herbisida atau pestisida guna mematikan rumput dan mencegah hama tanaman. Saat musim tanam padi gogo, kami pergi-pulang huma setiap hari. Kadang kami menginap di huma untuk mengangkut air saat orangtua menanami lahan. Bahkan, anak berumur lima tahun pun mesti membantu menyediakan air bagi keluarga.
Kondisi ini ada positifnya. Kami anak desa bertubuh kuat, terbiasa bekerja keras membantu orangtua. Tetapi, beberapa teman mengeluh, badannya tak bisa tinggi sebab mengangkat air sejak kecil.
Jika bisa memilih, saya ingin kondisi lebih baik bagi kami, anak desa. Kami ingin tak perlu lagi mengambil air dari sumber yang jauh. Akan lebih baik jika air bisa dinikmati secara mudah di rumah. Mengambil air menyusahkan anak-anak.
Saya selalu merasa diburu-buru tugas mengangkat air. Pernah terjadi saya telat masuk sekolah karena harus mengambil air dulu. Mengangkat air juga melelahkan karena kami harus mencari air untuk kebutuhan keluarga setiap hari.
Tangan kami sakit menarik tali sumur yang besar. Sering tangan kami jadi merah dan bengkak. Waktu bermain anak-anak desa amat kurang karena tugas itu. Saya membayangkan, jika pekerjaan sedikit berkurang, ada tambahan waktu bermain dan belajar. Kami bisa pintar seperti anak di kota.
Banyak anak desa tak melanjutkan sekolah selepas SMP demi membantu keluarga mencari nafkah di kampung. Mungkin mereka merasa tak cukup pandai untuk melanjutkan sekolah.
Jika ada persediaan air di desa, kami akan punya masa depan menjanjikan. Setidaknya, adik-adik kami bisa menikmati masa kecil tanpa harus memikul beban air setiap hari.
Saya berharap, di zaman internet kini, sedikit perbaikan terhadap akses air tentu bukan hal mustahil. Air akan menjadi masa depan kami, bukan penghalang menuju masa depan. Haris Apriyanto, SMAN 2 Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat
Post Date : 11 Maret 2011
|