|
SIDOARJO - Aliran lumpur hingga hari ke-238 belum juga bisa dikendalikan. Sebagaimana wilayah lain yang sempat terendam lumpur, hampir semua sumur warga Desa Pejarakan, Kecamatan Jabon telah tercemar. Sayangnya, hingga kemarin, pasokan air bersih yang digadanggadang warga belum ada kejelasan. Para warga, terutama di RT 8 dan 9 RW 1 yang terendam lumpur akibat luapan dari spillway, tak bisa lagi memanfaatkan air sumur untuk keperluan MCK (mandi, cuci, dan kakus). Kondisi air sumur warga berubah menjadi kuning kecokelat-cokelatan "Selain itu, rasanya juga asin," kata Asmani, warga setempat. Praktis, untuk kebutuhan sehari-harinya, kini warga terpaksa menunggu pasokan air bersih dari Lapindo. Namun, kata bapak tiga anak itu, harapan akan pasokan air bersih yang sangat ditunggu-tunggu warga, hingga kemarin, tak kunjung datang. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga terpaksa membeli air bersih dari penjual air keliling. "Kami mendesak Lapindo atau yang berwenang, agar segera mengirim suplai air bersih ke sini," kata Ahmad Zakaria, ketua tim penanganan lumpur Desa Pejarakan. Dia menambahkan, kesusahan warga akibat rumahnya yang sudah terendam, jangan ditambah dengan sulitnya mendapat air bersih. "Selain itu, kami juga menuntut, agar segera ada langkah nyata, soal nasib kami selanjutnya," tegasnya. Menurut dia, jika memang sudah tak mampu mengendalikan lumpur, terutama yang ada di spillway, maka wilayah permukiman di sekitarnya juga harus dibebaskan. "Dengan kondisi seperti ini, permukiman kami memang sudah tak layak," ungkapnya. Sementara itu, untuk menolong korban lumpur, Ketua DPD PAN Sidoarjo Khulaim Djunaidi mendesak eksekutif dan legislatif Sidoarjo untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk korban lumpur. "Korban lumpur adalah pembayar pajak yang ikut membangun Sidoarjo. Mereka juga punya hak atas dana APBD," kata Khulaim. Anggaran khusus ini harus dikucurkan terkait ketidakpastian pembayaran klaim ganti rugi aset korban lumpur. Tak hanya rumah dan tanah warga saja yang belum pasti diganti. Sekolah-sekolah dan prasarana publik, seperti kantor kelurahan, masjid, serta musala malah belum jelas nasibnya. Yang paling mendesak, lanjut Khulaim, ialah penyediaan sarana pendidikan berupa bangunan sekolah. Sedikitnya 18 sekolah sudah tenggelam dan 15 lainnya terganggu akibat lumpur. Klaim Dinas Pendidikan Sidoarjo kepada PT Lapindo Brantas Inc. belum dijawab. Padahal, anak-anak korban lumpur ini masih sangat membutuhkan pengembalian sarana pendidikan itu. Setelah sekolah tenggelam, mereka tercecer di mana-mana. Bahkan, mutasi (pindah sekolah, Red) pun mereka harus membayar. Dia mendesak Pemkab dan DPRD memikirkan benar-benar sarana pendidikan tersebut. Jika harus menunggu ganti rugi dari Lapindo, sampai kapan mereka kehilangan waktu sekolah. Masa depan mereka terancam. Dia mengusulkan APBD Sidoarjo 2007 layak menyediakan anggaran secara khusus minimal Rp 50 miliar. Nilai ini juga terlalu kecil dari nilai APBD Sidoarjo yang lebih dari Rp 1 triliun. Anggaran tersebut bisa digunakan untuk program-program di luar yang sudah ditanggung Lapindo. (n/oz) Post Date : 22 Januari 2007 |