Peduli Lingkungan Mulai dari Diri Sendiri

Sumber:Kompas - 13 Juni 2009
Kategori:Lingkungan

Setelah mengetahui betapa jahatnya styrofoam bagi lingkungan, Kinanti Adyawardhani (17) merasa agak ribet ketika jajan. Ia sebisa mungkin membeli jajanan yang tidak menggunakan styrofoam sebagai kemasan.

Butuh waktu yang sangat lama bagi styrofoam agar bisa terurai alami. Styrofoam memang bisa dihancurkan, tetapi mahal dan belum tentu aman," ujar siswi SMAN 5 Bandung ini. Bagi Kinanti, menghindari bahan styrofoam merupakan salah satu bentuk kepeduliannya terhadap kelestarian lingkungan.

Lain halnya Maliqa Rizqi Anindita (15) yang memilih sepeda sebagai salah satu bentuk kepedulian terhadap lingkungan. Maliqa tidak sungkan bersepeda dari tempat tinggalnya di daerah Awiligar ke SMP Taruna Bakti di Jalan LL RE Martadinata, Bandung.

"Saat awal dulu, orangtua memang khawatir karena lalu lintas padat. Selain tidak aman, udaranya juga sudah tercemar polusi. Tapi, saya bilang, kalau memang khawatir polusi, harusnya kita juga melakukan sesuatu untuk menguranginya," kata Maliqa.

Tindakan kecil Kinanti dan Maliqa seolah embun sejuk di tengah laju degradasi lingkungan yang sepertinya tidak terbendung. Polusi udara, pencemaran air, kerusakan tanah, penggundulan hutan, banjir, dan kekeringan sudah menjadi berita yang lazim.

Ambil contoh daerah aliran Sungai Cikapundung. Akibat tingginya laju konversi lahan di wilayah Lembang, laju air di sepanjang daerah ini meningkat pesat. Selain mendorong terjadinya banjir, kondisi ini juga mencerminkan rendahnya tingkat penyerapan air yang berakibat pada berkurangnya cadangan air tanah. Pembuangan limbah pabrik tanpa didahului pengolahan yang sempurna sudah pasti mengakibatkan pencemaran air.

Tanpa disadari, banyak perilaku pribadi yang tidak ramah lingkungan. Boros energi, boros air, dan membuang sampah sembarangan merupakan contoh kecil yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Ironisnya, kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan sering kali baru kembali populer ketika bencana sudah telanjur terjadi. Tidak mudah

Syaiful Rohman, pengelola majalah lingkungan independen Greeners, mengatakan, peduli lingkungan bisa dimulai dari diri sendiri. "Semua orang, dari ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, hingga pekerja, bisa melakukan gaya hidup yang ramah lingkungan," kata Syaiful.

Syaiful mengakui, memulai gaya hidup ramah lingkungan sering kali tidak mudah. Apalagi, perilaku tidak ramah lingkungan ini berhubungan dengan gaya hidup yang semakin konsumtif dan sudah merambah ke semua lapisan masyarakat. "Akibatnya, ketika berperilaku ramah lingkungan, kita justru terlihat aneh dibandingkan dengan orang kebanyakan," kata Syaiful.

Perilaku ramah lingkungan juga dipandang sebagai gaya hidup yang mahal. "Mengonsumsi makanan organik, misalnya, memang bagus, tetapi belum tentu bisa dijangkau semua orang," kata Syaiful.

Padahal, menurut dia, setiap individu bisa memilih cara yang mudah dan murah untuk tetap ramah lingkungan. Di antaranya adalah memilih alat elektronik yang hemat energi dan menggunakan tas/kantong yang sama setiap kali berbelanja untuk mengurangi penggunaan sampah plastik.

"Setiap keluarga juga bisa ramah lingkungan dengan memilih alat-alat elektronik yang hemat energi," ujar Syaiful. Bahkan, perilaku ramah lingkungan ini juga bisa menghasilkan uang, seperti yang dilakukan ibu-ibu dalam mengolah sampah plastik menjadi barang-barang kerajinan yang bisa dijual dan dalam produksi kompos.

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Supardiono Sobirin, mengatakan, kondisi lingkungan tidak lepas dari perilaku masyarakat yang mendiaminya. "Memang bagus untuk memulai dari diri sendiri. Namun, dampaknya akan kurang terasa. Sebab itu, setelah melakukannya, kita juga harus mengajak orang-orang di sekitar kita," kata Sobirin.

Pemerintah, ujarnya, berperan penting untuk mengakomodasi dan memperluas tindakan kecil yang sudah diawali masyarakat. Lis Dhaniati



Post Date : 13 Juni 2009