Peduli Banjir DKI Jakarta

Sumber:Buletin Pengawasan No. 47 & 48 Tahun 2004
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Banjir bisa terjadi dimana saja, bisa melanda belahan bumi dimana saja, tidak terkecuali di bumi yang dikuasai oleh negara adidaya sekalipun. Di Amerika, sebagian dari penduduknya pernah mengalami musibah banjir, Rusia mengalami hal yang sama, di Inggris, negara?negara lain di Eropah, di Asia apalagi. Seperti terjadi baru?baru ini di Jepang, China, Bangladesh, Pakistan, India, Philippina, dan Indonesia. Korban yang diakibatkan tidak sedikit, misalnya di India. Yang meninggal bilangannya sampai ratusan orang dan yang diungsikan ribuan sampai jutaan orang. Yang terjadi di Ibu kota Bangladesh misalnya, yaitu kota Dakka yang mempunyai penduduk cukup besar, hampir sama dengan penduduk Jakarta, sebagian wilayahnya, menurut berita 40%, terendam banjir Akibatnya sekian meninggal, sekian terserang penyakit, seperti diarea dan sebagainya, sekian orang harus diungsikan, belum termasuk kerugian yang lain, misalnya harta benda, kerusakan?kerusakan bangunan sarana dan prasarana yang harus ditanggulangi oleh Pemerintah disana.

Demikian pula, terjadi di Tanah Air. Begitu musim penghujan tiba, hampir pasti terjadi banjir. Banyak faktor pemicu sehingga banjir tidak terelakkan, disamping curah hujan yang tinggi, bukit dan tanah longsor, padatnya penduduk yang tinggal di sepanjang bantaran sungai, bangunan yang didirikan sebelah kanan maupun sebelah kiri alirannya, yang mau tidak mau pasti menghambat jalannya aliran air. Belum lagi masalah sampah yang tidak kunjung disadari oleh sebagian masyarakat kita betapa berbahayanya jika dibuang sembarangan, dan berbagai tingkat kedisiplinan lain yang secara tidak langsung menyangkut perlakuan terhadap kelestarian sumber daya air. Kita ingat pernah mengalami, Bengawan Solo meluap dan hampir seluruh kota Solo tergenang, yang terjadi tidak lama setelah terjadi huru?hara tahun 1966?an. Upaya pemerintah mengendalikan Bengawan Solo termasuk anak sungainya Kali Madiun, sehingga belakangan sudah jarang terdengar banjir besar diwilayah itu. Banjir yang melanda kawasan Pantai Utara Pulau Jawa sehingga memutuskan hubungan kereta api lintas utara maupun selatan, tidak terjadi sekali dua kali. Banjir di kawasan wisata Bukit Lawang Sumatera Utara yang meluluh lantakkan kawasan tersebut akibat turunnya hujan di daerah hulu dan jenuhnya kawasan yang mestinya bisa menjadi catchmen area, dan sebagainya.

Tetapi banjir yang terjadi di DKI Jakarta lebih sering dibicarakan, disorot oleh banyak pihak, karena banjir itu melanda kota Jakarta yang adalah Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Banjir di Jakarta terjadi hampir setiap tahun, dan hampir semua wilayah terkena. Banyak yang mengharapkan sebagai Ibu Kota Negara, mestinya Jakarta bisa menjadi contoh bagi kota?kota besar yang lain di Indonesia. Menjadi contoh karena kebersihannya, menjadi contoh karena aman, menjadi contoh karena Pemda?nya bisa mengatasi banjir, apakah itu banjir kiriman atau banjir karena sungai?sungainya sendiri. Menjadi contoh karena penduduknya disiplin dan sangat menyadari apa arti membuang sampah di tempat yang telah ditentukan, menjadi contoh karena penduduknya bisa mengatur permukimannya sendiri sedemikian rupa sehingga teratur, sehat dan bersib aman dan seterusnya.

Apakah demikian kenyataannya ?
Kota Jakarta, kota yang penuh dengan kontroversi. Penduduknya yang tergolong padat, jumlahnya sekitar sepuluh juta, sebagian besar barangkali sebenarnya wajar jika semua menginginkan mendapatkan hidup yang teratur, tertib, rapi, aman. Dengan demikian bergerak kemana saja aman dan nyaman, berusaha lancar, gampang mencari sandang pangan. Disisi lain tingkah polahnya terkadang semaunya, mau menang sendirl, sulit ditertibkan, tingkat kedisiplinannya perlu dikontrol terus menerus, merasa bahwa negara ini dia juga memiliknya. Sehingga bolehlah sekali?sekali atau sering kali berlaku seenaknya baik di jalanan, di lingkungan tempat tinggal, atau di mana saja, yang penting dirinya selamat.

Dari segi phisik geografis juga kurang menguntungkan, karena Jakarta letaknya di dataran rendah dengan puluhan sungai besar kecil mengalir disana. Pernah ada pemikiran untuk memindahkan Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini ke Bogor atau ke tempat yang lebih baik, karena Jakarta dinilai sudah terlalu kelebihan beban. Sebagai kota pemerintahan alangkah idialnya kalau lingkungannya serba tenang, aman dan nyaman. Sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengambilan keputusan situasinya kondusif.

Bisa jadi lahannya sudah tidak kuat lagi memikul beban dari sepuluh juta penduduk dengan segala macam persoalannya. Dulu bahkan pernah di lemparkan pendapat bagaimana kalau Ibu Kota Negara di pindah ke Palangkaraya, siapa tahu lebih kondusif.

Forum Peduli Banjir Jakarta bersama?sama dengan Dinas PU DKI Jakarta tahun ini menyelenggarakan Workshop Nasional dengan thema bersiap menghadapi banjir awal tahun 2004. Dari Departemen Kimpraswil turut serta sebagai pembicara adalah Ir. Dargono Danuprawiro Dipl.HE, yang mengemukakan makalahnya berjudul Penanganan Masalah Banjir di DKI Jakarta.

Bahwa masalah banjir Jakarta sudah sering diexpose oleh media cetak maupun elektronik di Tanah Air. Oleh Pemerintah Pusat dan DKI juga sudah sering diupayakan dibicarakan di tingkat kelurahan, melibatkan Ketua RT/RW atau 1 tokoh?tokoh masyarakat, dengan harapan menggugah kesiapan warga DKI dalam menghadapi banjir setiap tahun. Atau diharapkan dengan berbagai penerangan, penjelasan, diskusi dengan masyarakat, maka banjir dapat dikurangi seminimal mungkin.

Tetapi banjir Jakarta memang agak bandel. Hujan yang terjadi di bulan Juli 2004 kemarin saja, yang sebenarnya tidak jatuh pada musimnya, karena hitungannya jatuh di musim kemarau, lagi pula hujan turun terhitung tidak lama, sekitar dua jam, akan tetapi sudah mampu membuat sebagian kota Jakarta macet total, karena sebagian besar jalanan tertutup air setinggi lutut. Siapapun Gubernur DKI, tanpa bekal duwit yang cukup untuk membangun bangunan?bangunan pengendali banjir, dan bisa mengatasi masalah non fisik lain, tetap akan pusing mengatasi banjir di wilayahnya..

Banjir yang terjadi pada bulan Pebruari 2004 yang lalu, berlangsung lebih dari satu hari bahkan sampai satu pekan. Ada rumah penduduk yang sudah satu minggu terendam air. Puluhan ribu orang terpaksa mengungsi, sebagian dari mereka terkena diare, gatal?gatal, pes karena tikus, demam berdarah, tiga orang tewas tersengat listrik dan lain?lain kabar yang kurang menyenangkan.

Kemacetan Ialu lintas yang tidak seperti blasanya terjadi di sejumlah ruas jalan di Jakarta. Sementara itu harian Kompas melaporkan beberapa lokasi banjir diatas 50 cm di lima Wilayah DKI (Jakarta Barat, Timur, Utara, Selatan dan Pusat), di 17 kelurahan, dan jumlah warga yang terpaksa menjadi pengungsi.

Pengertian

Ir. Dargono D mengawali makalahnya dengan memberikan beberapa pengertian sekitar masalah sungai dan banjir, yang secara populer diuraikan lebih lanjut di halaman?halaman berikut.

Tanah Air kita Indonesia, secara phisik?geografis memiliki ratusan sungai baik besar maupun kecil. Di DKI Jakarta saja, yang wilayahnya termasuk rendah, bahkan ada beberapa wilayah yang lebih rendah dari permukaan air laut, terdapat sekitar tujuh sampai sepuluh sungai besar maupun kecil yang mengalir di wilayah tersebut.

Ada beberapa pengertian mengenai sungai dan banjir ini. Misalnya apa yang dimaksud dengan sungai, yaitu merupakan tempat?tempat atau wadah?wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan (GS). Biasanya sungai yang dianggap besar ditata wilayahnya dalam apa yang disebut Daerah Pengaliran Sungai (DPS), yaitu suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan atau mengalir melalui sungai dan anak?anak sungai yang bersangkutan. DPS ini sering pengertiannya disamakan dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau catcment area atau river basin. Kalau bicara wilayah sungai berarti suatu kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil pengembangan satu atau lebih DPS.

Sering orang menyinggung tentang mengapa banyak penduduk mendirikan bangunan di bantaran sungai, apalagi di wilayah DKI Jakarta, yang mestinya tidak diperkenankan. Yang dimaksud bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai, dihitung dari tepi sungai sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam.

Adapun Garis Sempadan Sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai, sedangkan daerah manfaat sungai adalah mata air, palung sungai, dan daerah sempadan yang telah dibebaskan. Dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan yang tidak dibebaskan, semuanya termasuk dalam Daerah Penguasaan Sungai.

Ada lagi istilah dataran banjir, adalah dataran yang sewaktu?waktu sungai meluap bisa tergenang. Oleh yang berkompeten dataran seperti itu dengan cara tertentu (dimanage) dibudidayakan supaya jangan terIalu menimbulkan masalah atau kalau terjadi masalah diupayakan sekecil mungkin. Sebisa mungkin banjir yang terjadi bisa dikendalikan sedemikian rupa, sehingga debitnya tidak sampai pada tingkat tertentu, bukan debit yang terbesar. Dengan tujuan seperti ini Ialu ada usaha yang dinamakan Pengendalian Banjir, misalnya Proyek Pengendalian Banjir Jakarta.

Hasil penanganan masalah banjir selama ini

Pemerintah telah cukup banyak membangun sarana pengendali banjir Jakarta. Seperti banjir kanal, makro drain, polder, perbaikan sungai, pengerukan muara, pembangunan pompa banjir dan sebagainya. Namun nampaknya masih belum cukup untuk mengendalikan banjir Jakarta. Banyak faktor yang menyebabkan belum saja bangunan pengendali banjir bisa mengatasi banjir yang semakin menggila.

Beberapa yang bisa dilihat secara fisik seperti kali menjadi dangkal kembali karena endapan lumpur, kemudian kali dan saluran drainase penuh dengan sampah, bangunan pengendali banjir banyak yang rusak, prasarana Pengendali Banjir sesuai Master Plan Pengendalian Banjir DKI Jakarta belum selesai seluruhnya, seperti Banjir Kanal Timur, Polder dan sebagainya. Banjir Kanal Timur dibeberapa tempat mengalami kesulitan dalam pembebasan lahan.

Bila melihat faktor non fisik, ada beberapa yang mempengaruhi mengapa banjir bukan berkurang tetapi malahan membesar. MisaInya kesadaran masyarakat dalam hal membuang sampah yang masih perlu selalu diingatkan, dari mereka banyak yang masih menggunakan kali sebagai tong sampah. Pernah dianjurkan agar setiap rumah tangga mempunyai tempat penampungan sementara sampah ini, lalu dengan dikoordinir RT masing?masing dikumpulkan, dibakar atau dibuang bersama?sama di TPA. Bagi mereka yang sangat terbatas huniannya, boro?boro untuk menampung sampah untuk menselonjorkan kaki saja tempat tidak cukup, mendingan langsung saja dibuang di kali.

Anggapan sebagian warga masyarakat bahwa tugas membersihkan sampah, pekerjaan mengendalikan banjir dan segala pekerjaan ikutannya adalah tugas Pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Boleh jadi pikirnya "apa salahnya memberi kesibukan kepada aparat Pemerintah.

Bantaran sungai masih menjadi alternatif untuk tempat bisa mendirikan sekedar bangunan untuk hunian yang menjanjikan terutama bagi masyarakat kebanyakan. "Masyarakat kebanyakan" oleh penyusun makalah diberi tanda kutip, berarti mungkin ada gradasi didalam pengertiannya, masyarakat kebanyakan yang seperti apa. Hunian sepanjang kali inilah yang sangat sulit dihilangkan.

Disebutkan pula bahwa budaya masyarakat yang kurang mendukung. Saya jadi ingat pendapat seorang penulis asing mengatakan bahwa apapun atau siapapun yang menjadi pemerintah di Indonesia kesannya selalu mendapat tentangan dari masyarakatnya. Oleh karena itu ada pendapat pemerintahan harus tegas dan kuat. Satu hal lagi, bahwa dana pemeliharaan fasilitas pengendali banjir masih minimal, bahkan cenderung dianggap mubazir.

Hasil akhir sampai saat ini

Banjir Jakarta sampai saat ini masih dianggap sebagai HANTU TAHUNAN yang ditakuti oleh masyarakat, datangnya bisa tiba?tiba dan tanpa dapat diperkirakan sebelumnya. Karena masyarakat masih menganggap masalah banjir adalah tanggung jawab pemerintah semata, dan bukan tanggung jawab bersama, maka menyadarl hal ini setiap menjelang musim hujan Gubernur DKI mensiagakan personilnya untuk mengantisipasi banjir. Apalagi pengalaman awal tahun 2004 kemarin menunjukkan hampir separuh wilayah DKI rawan banjir. Pemerintah juga sulit mendapatkan kesempatan yang mudah untuk membebaskan tanah untuk pembangunan prasarana. dan sarana pengendali banjir.

Penyelesaian masalah

Kebijakan Pemerintah dalam menangani masalah banjir Jakarta ini dinilai masih bertumpu pada paradigma lama, sifatnya linear bukan sistemik dan holistik, karena mudah pengerjaannya dan dalam waktu relatif pendek, misalnya normalisasi sungai. Tetapi penyelesaian seperti ini, kata penyusun makalah, banyak kerugiannya, misalnya waktu manfaat pendek, kejadian berulang, tidak efektif dan tidak efisien, lagi pula tidak tuntas menyelesaikan masalahnya.

Menurutnya, harusnya pemerintah mengikutsertakan semua stakeholders dalam setiap pengambilan keputusan dan dengan pendekatan baru secara sistemik dan holistisk. Karena masalah banjir bukan hanya masalahnya pemerintah, masalah itu milik semua pihak baik masyarakat, swasta maupun pemerintah, maka diperlukan hubungan yang sinergis di antara ketiganya. Kepada ketiga pihak tersebut perlu menyamakan pemahaman tentang masalah banjir Jakarta ini, perlu mengerti bersama dan dengan bahasa yang sama pula dalam, hal mengatasi banjir Jakarta. Oleh karena itu perlu dibentuk forum bersama, duduk bersama, berfikir bersama, bertindak bersama mengatasi banjir Jakarta.

Mengenai penyelesaian dengan teknologi banjir, untuk mengurangi besarnya kerugian akibat banjir tersebut, disebutkan dua upaya yang terstruktur dan nonstruktur. Yang pertama, upaya struktur berdasarkan debit banjir rencana, yaitu seperti mencegah meluapnya banjir sampai ketinggian tertentu dengan tanggul; merendahkan elevasi muka air banjir dengan normalisasi, sudetan, banjir kanal, interkoneksi; kemudian mengurangi genangan dengan polder, pompa dan sistem drainase.

Upaya non struktur, seperti prakiraan banjir dan peringatan dini penangggulangan banjir, relokasi, pengelolaan dataran banjir, tata ruang, penghijauan, penetapan sempadan sungai, penyuluhan, penegakan hukum, pengentasan kemiskinan dan manajemen sampah.

Isu strategis penanganan banjir Jakarta

Pertama disebutkan tentang revitalisasi atau penataan kembali Banjir Kanal Barat. Bagaimana supaya penghunian liar tidak berulang kembali sehingga fungsi pelayanan sarana dan prasarana pengendali banjir lebih langgeng. Upaya normalisasi sungai secara phisik konstruksi tidak masalah, sampai kepada beberapa waktu kemudian sudah kembali ke kondisi semula, mulai berdiri gubug?gubug atau rumah liliput di samping kanan kiri sungai. Begitu saja berulang kali, jangankan pemerintah atau yang mengerjakan, yang melihat saja bosan.

Kedua, pembangunan Banjir Kanal Timur dengan memakai azas manfaat, yaitu mendahulukan bagian BKT yang menghubungkan Kali Cipinang, Kali Sunter, Buaran, Kramatjati untuk dialirkan ke Cakung Drain yang selama ini belum pernah banjir. Apabila pembangunannya dimulai dari hilir atau dari arah muara, maka menurut penyusun makalah, manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat mungkin baru terasa dalam waktu 10 tahun mendatang. Rasanya memang agak menunggu lama. Seperti pernah diberitakan proyek BKT termasuk proyek besar yang diproyeksikan selesai tahun 2007. Biaya diperkirakan sekitar Rp.2,5 trilyun, sebagian ditanggung oleh pemerintah DKI Jakarta dan sebagian oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Kimpraswil. Bentuk fisik nantinya BKT ini adalah semacam sungai buatan sepanjang 23,6 km , melintasi 23 kelurahan di Jakarta Timur dan Selatan. Lebar sungai buatan tadi bervariasi antara 100 m sepanjang 22,375 Km, lebar 200 m sepanjang 850 meter dibagian hilir dan lebar 300 m di bagian tengah. Lahan yang diperlukan dan memerlukan upaya pembebasannya adalah sekitar 317,2 hektar.

Ketiga, perlu menyusun standard operation prosedure terhadap pemanfaatan seluruh prasarana dan sarana pengendali Banjir di DKI Jakarta. Meliputi pengaturan selama sebelum, menjelang, saat dan sesudah banjir, dalam rangka penanggulangan banjir dan evakuasinya, perkiraan dan peringatan dini, manajemen sampah, penyuluhan / informasi publik, penegakan hukum, pengentasaan kemiskinan. Upaya ini untuk sekalian mengurangi kerugian akibat banjir.

Menurut keterangan dari Sekretariat Forum Pengendali Banjir DKI, SOP untuk melengkapi upaya koordinasi sudah ada, namun sejauh mana masyarakat mampu melaksanakannya masih harus diuji. MisaInya tentang nama?nama petugas yang perlu dihubungi jika terjadi banjir, tentang komando penanganan pintu air, penanggulangan bencana misalnya tingkat Siaga IV sampai dengan tingkat Siaga I, penanganan pengungsi yang katanya diketuai langsung oleh Gubernur.

Keempat, mengembangkan konsep penerima manfaat harus atau berkewajiban membayar, yang dapat diterapkan di daerah tertentu misalnya di Polder Pluit. Sehingga beban Pemerintah dapat dikurangi dan dana dapat dimanfaatkan untuk keperluan membiayai keperluan prasarana yang lain.

Kesimpulan

Masalah banjir Jakarta adalah masalah yang sangat kompleks, perlu penanganan secara holistik/sistemik, berkelanjutan. Untuk mengurangi terus menerus kerugian atas semua yang diakibatkan oleh banjir, maka perlu disusun SOP (standard operation prosedure). Kemudian perlu sosialisasi dan informasi tentang permasalahan banjir Jakarta. Perlu mengembangkan konsep penerima manfaat diwajibkan untuk membayar.

Pelaksanaan kontruksi banjir kanal timur (BKT) perlu dilaksanakan dengan menggunakan azas manfaat, bakal mengurangi dan mengatasi sebagian besar masalah banjir Jakarta. (SR)


Bahan :

1.Makalah Penanganan Permasalahan Banjir di DKI Jakarta, Ir. Dargomol D.
2.Harian Kompas , 20 Pebruari 2004.
3.Harian Media Indonesia, 11 Pebruari 2004.

Post Date : 27 Desember 2004