|
SURABAYA(SINDO) – Siapa bilang pemasangan PDAM gratis? Buktinya, meski bantuan Bank Dunia melalui program output based aid Rp24 miliar cair, tetap saja keluarga miskin (gakin) membayar. Hingga kemarin, para keluarga tak mampu tetap dikenakan beban biaya untuk pemasangan instalasi baru. Tidak tanggung-tanggung, untuk setiap pemasangan, mereka masih dikenakan biaya sebesar 50% dari total kebutuhan. Itu berarti rata-rata mereka masih membayar biaya sebesar Rp400.000 dari biaya resmi Rp800.000. Direktur PDAM Kota Surabaya, M Selim beralasan, biaya tersebut dikenakan kepada gakin karena biaya operasional pemasangan yang mahal. ”Kami kira beban 50% ini tidak begitu berat.Apalagi nilainya juga tidak sampai Rp500.000. Bahkan di banding instalasi yang kami pasang, nilai tersebut masih relatif kecil. Karena itu kami yakin mereka tidak akan kesulitan” katanya. Untuk rencana tersebut, Selim mengaku telah melakukan persiapan secara matang. Sesuai penghitungan, pemasangan instalasi tersebut akan diperuntukkan bagi 15000 gakin. Mereka yang masuk kategori gakin,adalah masyarakat yang rumahnya bertipe sangat sederhana (RSS). ”Survei sudah kami lakukan. Termasuk juga penentuan lokasi dan tata cara pendaftaran. Hanya saja untuk lokasi, kami tidak berani menyebut dulu.Takut ada yang memanfaatkan,”imbuhnya. Disinggung mengenai pencairan bantuan Bank Dunia yang tertunda, dia mengaku, tidak ada masalah. Sebab untuk pembangunan tersebut PDAM bisa melakukan pre financing. Yakni meminjam dana talangan dulu untuk menutupi. Dana talangan inilah yang baru akan ditutup kembali bilamana bantuan tersebut telah resmi dicairkan. ”Karena gakin yang menerima bantuan ini kami kenakan 50%,maka total klaim pembayaran itu akan kami berikan ke Bank Dunia. Sementara sisanya akan kami masukkan ke PDAM sendiri sebagai kas,”tegas pria berkumis ini. Ketua Perlindungan Konsumen Surabaya (LPKS),Paidi Prawirorejo mengatakan, pembentukan PDAM di daerah sejatinya untuk menjalankan fungsi sosial.Namun ironisnya dalam praktiknya, perusahaan tersebut masih bersifat komersial, seperti menjual air dengan harga tinggi. ”Hal inilah yang patut disayangkan. Apalagi harga tinggi tersebut tidak diimbangi dengan kualitas air yang bagus,”sindirnya. (ihya’ ulumuddin) Post Date : 09 Desember 2008 |