|
Bandung, Kompas - Saat ini Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM Kota Bandung hanya dapat melayani pembuangan air kotor 40 persen dari pelanggannya. Untuk itu, PDAM akan membangun jaringan pipa air kotor dari jalur Soekarno-Hatta hingga ke Bojongsoang. Direktur Utama PDAM Kota Bandung Jaja Sutardja dalam forum Temu Pelanggan PDAM Kota Bandung untuk memperingati Hari Pelanggan Nasional di Bandung, Senin (3/9), menyatakan, pembangunan itu menggunakan dana Rp 9 Miliar. "Dana tersebut merupakan subsidi dari pemerintah pusat," kata Jaja. Dengan penambahan jaringan air kotor, Jaja berharap warga tidak lagi membuang air kotor ke sungai atau air permukaan lainnya. Sebab, perilaku ini dapat memperparah pencemaran sungai dan mempersulit PDAM Kota Bandung memperoleh pasokan air baku. Jaja menjelaskan, selama ini para pelanggan PDAM dikenai biaya 30 persen dari tarif air bersih untuk pelayanan air kotor. Semua pelanggan, baik yang memasang instalasi air kotor maupun tidak, tetap dikenai biaya itu. Menurut Jaja, penetapan tarif yang sama itu karena warga yang tidak memasang instalasi air kotor biasanya meminta PDAM untuk menguras septic tank. "Nah, limbah yang dikuras ini dibuang juga ke pengolahan air kotor milik PDAM di Bojongsoang. Lagi pula, kalau septic tank sudah penuh, warga dapat meminta tolong PDAM tanpa dipungut biaya kecuali biaya angkut yang besarnya bergantung pada jarak rumah dengan pengolahan air kotor di Bojongsoang," kata Jaja. Suplai 65 persen Jaja mengakui, pelayanan PDAM kepada 143.000 pelanggan belum memuaskan. Hingga kini PDAM Kota Bandung baru dapat menyuplai air bersih 65 persen dari keseluruhan kebutuhan pelanggan. "Kalau untuk memenuhi 100 persen kebutuhan sangat sulit, tetapi 80 persennya masih memungkinkan," ujarnya. Namun, alasan PDAM Kota Bandung itu tidak dapat diterima oleh Prihatna Kusuma, warga Ujungberung. Selama membayar rekening air, ia minta agar air tetap mengalir. "Warga Ujungberung sepakat tidak mau membayar rekening kalau air tidak ngocor," ujarnya. Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) Dine Andriani mengatakan, 60 persen rumah tangga di daerah perkotaan mendapat suplai air dari PDAM. Sisanya, dari sumber lain, seperti sumur atau penjual air keliling. Di pedesaan, PDAM hanya melayani 10 persen rumah tangga, dan sisanya dilayani oleh mekanisme penyediaan sendiri (self-supply), yang disediakan oleh masyarakat ataupun rumah tangga itu sendiri. Idealnya, lanjut Dine, kebutuhan air bersih per keluarga per bulan minimal 10 meter kubik. Namun, keluarga miskin yang tidak punya akses air bersih tidak dapat memenuhi kebutuhan minimal. "Survei selama lima tahun terakhir menunjukkan, keluarga dengan anggota lima orang dan tidak memiliki akses sambungan air hanya mengonsumsi 2 meter kubik air per bulan," kata Dine. (MHF) Post Date : 04 September 2007 |