PDAM Andalkan KPS

Sumber:Kompas - 11 Mei 2007
Kategori:Air Minum
Jakarta, kompas - Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus meningkatkan investasi swasta dengan menambah realisasi Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), untuk mengembangkan pelayanan air minum dari 314 PDAM yang kini jaringannya baru menjangkau sekitar 41 juta penduduk Indonesia.

Demikian dikatakan Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Rachmad Karnadi, Kamis (10/5) di Jakarta, menjawab rendahnya penetrasi jaringan air minum.

Padahal tahun 2015, ditargetkan jaringan air minum menjangkau 150 juta penduduk di seluruh Indonesia.

"Untuk air minum, target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) 2015, adalah tingkat pelayanan hingga 80 persen. Ini dapat tercapai bila kapasitas produksi jadi 180 meter kubik per detik," kata Rachmad.

Untuk meningkatkan kapasitas produksi disamping menambah jaringan pipa hingga konsumen sesuai target MDGs, kata Rachmad, dibutuhkan tidak kurang Rp 43 triliun.

"Ini berarti butuh investasi Rp 4,3 triliun per tahun, padahal investasi pemerintah tahun 2005 hanya Rp 400 miliar. Jadi sulit andalkan pemerintah, dan kamitunggu peran swasta," tandasnya.

Hingga kini, tidak kurang 27 KPS telah beroperasi. Sementara BPPSPAM, mengajukan tiga KPS percontohan di Kabupaten Tangerang, Kota Dumai, dan Kabupaten Bandung.

Untuk KPS di Kabupaten Tangerang, dengan nilai investasi Rp 303 miliar, kata Rachmad, proses tendernya telah diikuti empat calon investor, yakni Aquatico (Singapura), Asia Engineering (Malaysia), Dextam (Belanda), dan PT Cibaja (Indonesia).

Sementara itu, Rachmad menjelaskan total utang PDAM di Indonesia kini mencapai Rp 5,5 triliun, meningkat dari nilai utang PDAM tahun 2002 sebesar Rp 4 triliun.

Menurut Rachmad pembengkakkan utang disebabkan empat faktor, yakni keterlambatan kenaikan tarif, keterlambatan penambahan pelanggan, lambannya investasi, dan tidak tepatnya studi kelayakan.

"Harga rata-rata air PDAM yang rendah sebesar Rp 1.475 per meter kubik, menyebabkan PDAM tidak sehat. Kenapa tidak dinaikkan tarifnya, padahal masyarakat tidak mampu harus beli air Rp 25.000-Rp 50.000 per meter kubik dari pedagang air keliling," tandas Rachmad.

Menurut Rachmad tanpa menaikkan tarif, berarti PDAM hanya melayani pelanggan PDAM yang secara mampu secara ekonomi. "Padahal kenaikan tarif diharapkan menguatkan modal, yang nantinya digunakan memperluas jaringan air minum," ujarnya.

Presiden Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan, masalah utama PDAM terletak pada manajemen. Maka, kenaikan tarif tidak layak sebelum manajemen dibenahi.

Fadhil mengatakan terkait utang PDAM sebaiknya dilakukan penjadwalan ulang utang dan penurunan suku bunga kredit. "Tapi jangan dilakukan pemotongan atau pemutihan utang, sebab tidak mendidik," kata dia.

Restrukturisasi utang PDAM, kini memang belum dimulai. Tetapi ternyata terbentur belum adanya petunjuk teknis restrukturisasi utang-utang BUMN dan BUMD.

Namun Direktur Pengelolaan Penerus Pinjaman Departemen Keuangan Soritaon Siregar menegaskan, pihaknya sudah menyusun rancangan petunjuk teknis

Petunjuk teknis itu akan menjadi sarana penyaring untuk memilih program restrukturisasi yang paling tepat bagi setiap BUMN dan BUMD yang menunggak utang dari Rekening Dana Investasi (RDI) itu.

"Petunjuk teknis itu sudah kami susun rancangannya, dan akan dibahas pada hari Senin nanti (14/5) untuk dimatangkan," kata Siregar.

Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2006, jumlah RDI per 30 Juni 2006 mencapai Rp 60,2 triliun. Pokok yang belum jatuh tempo mencapai Rp 43,52 triliun, sedangkan tunggakannya Rp 16,64 triliun.

Sekitar 8,15 persen dari total tunggakan RDI merupakan utang PDAM, selebihnya utang BUMN, yakni 91,85 persen atau sekitar Rp 55,45 triliun. Sekitar 45 persen dari total tunggakan berada di BUMN tambang dan energi. (RYO/OIN)



Post Date : 11 Mei 2007