|
jakarta, kompas - Warga Jakarta dan sekitarnya terus-menerus dihadapkan pada minimnya ketersediaan air bersih. Di beberapa kawasan, seperti di Ciledug, Tangerang, hingga ke jantung Ibu Kota di Senen dan Kemayoran, Jakarta Pusat, warga terpaksa hidup dengan air bau dan berlumpur. "Sudah sejak belasan tahun lalu warga RW 04 Kelurahan Senen, Jakarta Pusat, tidak punya sumber air bersih sendiri. Mungkin, kalau mengebor hingga kedalaman lebih dari 100 meter, dapat air. Namun, kami tidak punya uang ratusan juta rupiah untuk mendanainya," kata Sugeng (43), warga, Sabtu (24/11). Air tanah di kawasan Senen, bahkan hingga Kemayoran dan Cempaka Putih, berwarna pekat dan berbau menyengat. Menurut warga, jika dulu air tanah masih dapat dimanfaatkan untuk mencuci dan mandi, kini debit airnya semakin berkurang. Hal senada dirasakan Heru Alimin (32) dan keluarganya yang tinggal di Ciledug, Tangerang. Menurutnya, sejak setahun terakhir, air sumur sebagian warga di kawasan tersebut keruh. Air bercampur lumpur itu tidak lagi dapat digunakan untuk kebutuhan memasak, apalagi air minum. "Kami terpaksa langganan air isi ulang tiga galon isi 18 liter per galon setiap minggu. Penggunaannya harus diirit untuk keperluan minum, memasak, dan memandikan bayi kami," kata Heru. Data BPLH Data dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) DKI, cadangan air tanah di DKI sendiri hanya 23 persen dari total curah hujan per tahun. Namun, kapasitas air tanah yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat tidak lebih dari 40 persen. Saat ini, untuk kebutuhan air bersih warga Jakarta, Perusahaan Daerah Air Minum dengan dua perusahaan operator, yaitu PT Pam Lyonaisse Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ), mengolah air dari Waduk Jatiluhur dan air baku dari Tangerang. Namun, tingkat kebocoran saat pendistribusian ke konsumen mencapai 51 persen dari total produksi. Kebocoran terjadi baik karena pencurian maupun kerusakan instalasi. (NEL) Post Date : 26 November 2007 |