Beberapa minggu terakhir ini kita diusik oleh sebuah produk Hollywood yang berjudul ”2012”. Reaksi masyarakat sangat beragam, dari penasaran hingga marah.
Pekan ini dunia diusik lagi oleh perhelatan besar Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) yang akan menggelar konferensinya yang ke-15 di Kopenhagen. Di sana akan dibahas dan disepakati cara-cara mengatasi perubahan iklim pasca-2012.
Kopenhagen memang menjadi tonggak (milestone) penting lantaran adanya harapan besar agar sesi ke-15 Konferensi Para Pihak (15th Conference of Parties/COP-15) UNFCCC itu akan mencapai kesepakatan tentang target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) setelah Protokol Kyoto kedaluwarsa pada akhir 2012 nanti. Dapat dibayangkan alangkah sengitnya perdebatan yang akan terjadi di sana.
Di Kyoto, 12 tahun silam, ketegangan yang luar biasa juga terjadi sehingga COP-3 diundur sehari setelah tercapai kesepakatan target penurunan emisi. Padahal, pada waktu itu negara-negara industri hanya dituntut menurunkan 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 yang secara global mencapai sekitar 14 miliar ton COper tahun selama lima tahun.
Meski angka 5 persen relatif kecil, langkah itu cukup berarti untuk sebuah kesepakatan politik. Itu pun tidak semua negara bersedia meratifikasi Protokol Kyoto, termasuk pengemisi terbesar, Amerika serikat, yang jatahnya 36 persen dari angka global di atas.
Di bawah Protokol Kyoto, negara-negara industri, yang dikenal sebagai negara Annex I, secara hukum terikat menurunkan emisinya selama periode 2008-2012. Secara reguler mereka wajib lapor kepada Sekretariat UNFCCC tentang kinerjanya dalam periode itu.
Dari Bali ke Kopenhagen
Setelah periode komitmen berjalan hampir dua tahun, rapor negara Annex I ternyata tidak terlalu menggembirakan. Jepang, misalnya, dengan AAU 5,93 miliar ton, tahun lalu baru sanggup memperoleh 42 juta ton CER. Artinya, masih jauh dari harapan. Demikian juga Jerman dengan AAU 4,87 miliar ton baru memperoleh 40 juta CER. Sedangkan Inggris dengan AAU 3,41 miliar ton baru memperoleh 104 juta CER. Sementara itu, Australia yang menjelang COP-13 di Bali meratifikasi Protokol Kyoto dan memiliki AAU 2,99 miliar ton, tahun lalu belum melaporkan adanya penurunan. Tidak jelas mengapa ERU dan RMU tidak dilaporkan. Patut pula dicatat bahwa minggu lalu Badan Eksekutif CDM telah mengeluarkan 341 juta CER dan memperkirakan 1,70 miliar CER pada saat Protokol Kyoto kedaluwarsa tahun 2012.
Dengan pencapaian seperti di atas, jelaslah bahwa Protokol Kyoto memerlukan penataan ulang. Protokol Kyoto jilid 2 perlu lebih tegas dan keras agar peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer tidak membahayakan iklim bumi. Meski demikian, kepentingan pengemisi besar yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto juga harus diakomodasi. Sebab, kalau tidak, mereka dapat melenggang dan lepas dari tanggung jawab sejarah.
Untuk mencapai kemajuan yang berarti, para perunding telah berusaha keras. Sejak di Bali dua tahun silam telah diratakan dua macam jalan menuju Kopenhagen. Bagi para pihak peratifikasi Protokol Kyoto dibentuk Kelompok Kerja Sementara (Ad-hoc Working Group/ AWG-PK) yang menekankan penurunan emisi yang tajam. Sedangkan untuk semua pihak peratifikasi Konvensi Kerangka PBB untuk Perubahan Iklim dibentuk Kelompok Kerja Sementara untuk kerja sama jangka panjang (AWG-LCA) yang menangani satu paket mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan.
Menurut perkiraan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), agar GRK stabil pada konsentrasi 450-550 ppm, negara maju harus menurunkan emisinya secara signifikan hingga 10-40 persen di bawah tingkat emisi 1990 pada tahun 2020 atau 40-95 persen di bawah emisi 1990 pada tahun 2050. Jika pada akhir abad ke-21 GRK dapat stabil pada konsentrasi tersebut, suhu bumi akan naik ”hanya” sebesar 2 derajat celsius. Dapatkah AWG-PK mengangkat angka tersebut ke meja perundingan COP/mOP-5 dan meyakinkan Para Pihak peratifkasi PK di Kopenhagen untuk mengadopsinya?
Meski tanpa angka yang konkret, AWG-LCA tampaknya akan menyodorkan dua andalan mitigasinya, yaitu mitigasi nasional (Nationally Appropriate Mitigation Action/NAMA), baik di negara maju maupun berkembang, dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD) di negara berkembang. Kedua mekanisme ini memerlukan metodologi yang baik agar penurunan emisi dapat diukur, dilaporkan, dan diverifikasi.
Pakta iklim pasca-2012
Ketika peran hutan tidak dimasukkan ke dalam CDM-nya PK di negara berkembang 12 tahun silam, tampaknya negara maju masih banyak berharap dari sektor energi, industri, dan transportasi. Namun, ketika ternyata rapornya jeblok, sementara periode komitmen pertama sudah berjalan dua tahun, tampaknya mereka mulai panik. Karena itu, ketika duet Papua Niugini dan Kosta Rika mengajukan usul pengurangan emisi dari deforestasi (RED) pada kesempatan COP-11 tahun 2005, ide (brilian) tersebut segera disambar negara maju dan disetujui untuk dimatangkan selama dua tahun berikutnya. Kenapa?
Pertama, RED yang di COP-13 Bali kemudian menjadi REDD memiliki potensi penurunan emisi sangat besar. Seperlima dari emisi global berasal dari konversi hutan. Angka ini lebih besar dibandingkan emisi global dari sektor transportasi. Kedua, menurut laporan Pemerintah Inggris yang disusun oleh Sir Nicolas Stern, ditunjukkan bahwa penurunan emisi melalui REDD relatif murah. Jika REDD berhasil 50 persen saja, negara maju hanya mengeluarkan dana sebesar 10 miliar dollar AS per tahun.
Ketiga, REDD merupakan mekanisme yang cepat karena tidak memerlukan restrukturisasi ekonomi atau teknologi baru yang mahal. Yang diperlukan adalah kebijakan yang jelas dan tata kelola yang demokratis. Keempat, bagi tuan rumah, cara ini merupakan solusi yang memenangkan semua pihak (win-win) yang bertransaksi (pembeli atau penjual). Sejumlah besar kredit akan ditransfer dan pada saat yang sama sistem tata kelola hutan juga mengalami perbaikan. Kisah-kisah dari Hollywood hanyalah dongeng belaka.
Namun, apakah Gedung Putih masih mau mendengarkan apa kata dunia dan berani mematahkan mitos kedigdayaannya? PK jilid I akan berakhir.
Daniel Murdiyarso Peneliti Senior CIFOR; mantan UNFCCC National Focal Point
Post Date : 12 Desember 2009
|