HARI masih pagi, tapi keringat sudah membasahi tubuh Suhar. Warga Sukabumi, Mayangan, Probolinggo, Jawa Timur ini bahu-membahu bersama lima rekannya menyambut sampah yang datang dari berbagai penjuru kota. Tangannya cekatan menyortir sampah sesuai dengan jenisnya, organik dan anorganik.
Masker, sarung tangan, dan kaus lengan panjang milik Suhar pun sudah mulai belepotan. Namun satu bak berukuran 4 x 4 meter persegi yang berisi sampah pasar masih menunggu sentuhannya. Tanpa rasa canggung, Suhar kembali memilah-milah sampah yang sudah mulai mengeluarkan bau tak sedap itu.
Sampah organik yang telah dipisahkan dimasukkan ke mesin pencacah. Hasil olahan yang berupa serpihan yang lebih kecil ditempatkan dalam bak untuk proses fermentasi. Dengan bantuan bioaktivator, sekitar sebulan kemudian sampah itu pun berubah menjadi pupuk kompos. Setelah dikemas, pupuk berbahan baku sampah pun siap dijual.
Sudah tiga tahun ini Suhar memproses sampah seperti itu di Unit Pengelolaan Sampah Terpadu Kota Probolinggo. Tempat pengolahan ini hasil kerja sama antara Yayasan Danamon Peduli dan Pemerintah Kota Probolinggo.
Kini, baik sampah pasar maupun rumah tangga tak dibiarkan berlama-lama membusuk dan mencemari kota. Suhar dan rekan-rekannya siap sedia mengolahnya. Hasilnya, Kota Probolinggo kini tampak lebih bersih. Jarang terli-hat gunungan sampah di kota itu.
Program itu pun telah berbuah manis. Tak hanya kenyamanan yang dirasakan, tahun lalu kota di tenggara Surabaya itu diganjar Inovasi Manajemen Perkotaan Award 2009 di bidang sanitasi, subbidang pengelolaan sampah perkotaan. Yayasan Peduli Danamon, yang memfasilitasi pengelolaan sampah itu, pun mendapat penghargaan internasional BBC World Challenge pada Desember lalu.
Saat ini Kota Probolinggo telah memiliki empat lokasi pengolahan sampah yang terus menghasilkan kompos. Warga setempat lebih akrab menyebutnya rumah kompos. Keempatnya adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengolahan Sampah Terpadu dan Limbah Induk, UPT Pengolahan Sampah Pasar Baru, dan dua unit pengelolaan sampah di perumahan, yaitu Perumahan Kelurahan Ketapang dan Perumahan Sumber Taman.
Untuk memuluskan kebijakan tersebut, pemerintah kota juga mengundang partisipasi aktif warganya dengan menerapkan program pengolahan sampah berbasis komunitas. "Kita membentuk kelompok-kelompok masyarakat peduli sampah," kata Kepala Badan Perencanaan Daerah Kota Probolinggo Budi Krisyanto.
Satu kelompok masyarakat (pokmas) terdiri atas 10 hingga 15 rumah tangga. Kelompok ini bertugas mengumpulkan dan memilah sampah yang dihasilkan di lingkungan masing-masing. Jika sudah terkumpul, koordinator menghubungi rumah kompos agar sampahnya segera diambil. Hingga sekarang, kata Budi, sudah terbentuk kurang-lebih 100 kelompok masyarakat.
Dampak positifnya pun mulai dirasakan masyarakat. Mereka bisa memperoleh pupuk cuma-cuma. Dari sampah yang disetorkan ke rumah kompos, 70 persen hasilnya dikembalikan ke kelompok masyarakat. Pupuk tersebut kemudian digunakan di lahan pertanian mereka. "Sisanya bisa dijual untuk kas pokmas," kata Koordinator Paguyuban Peduli Sampah Kota Probolinggo, Sukiman.
Selain itu, ada manfaat lain yang diperoleh masyarakat, yaitu pembuatan kerajinan dari sampah nonorganik. "Ada usaha pembuatan suvenir di pokmas berupa tas dan dompet," kata Sukiman. Pekerjaan ini sebagian besar dilaksanakan oleh kaum perempuan.
Data UPT Pengolahan Sampah dan Limbah Badan Lingkungan Hidup Kota Probolinggo menunjukkan tahun lalu produksi kompos sekitar 72 ton dari reduksi sampah sebesar 138 ton. Jika digabungkan dengan kompos yang diproduksi masyarakat per September 2009 sebanyak 100,4 ton kompos, sudah dihasilkan sampah 401,6 ton. Rata-rata produksi kompos per bulan 10 ton.
Kepala UPT Lucia Aries Yulianti pun mengharapkan peran serta masyarakat terus berlanjut. "Kelompok masyarakat yang ada sekarang ini sangat membantu dalam proses pengolahan sampah menjadi kompos," katanya. Menurut dia, pengelolaan sampah akan mengurangi penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA). Kelak, kata Lucia, TPA menjadi tempat pembuangan sampah yang memang benar-benar tidak bisa dimanfaatkan lagi.
Bantul, Yogyakarta, juga menyimpan cerita sukses tentang pengelolaan sampah. Empat pasar tradisional di kabupaten itu, yaitu Pasar Bantul, Pasar Niten, Pasar Imogiri, dan Pasar Piyungan, sukses mengolah sampah pasar menjadi pupuk kompos.
Awalnya, program tersebut hanya di Pasar Bantul, difasilitasi oleh Yayasan Danamon Peduli dengan program "Pasarku Bersih, Sehat, dan Sejahtera". Pemerintah setempat kemudian mereplikasi di ketiga pasar lainnya secara mandiri.
Aktivitas pengolahan sampah dimulai sejak Februari 2007 di keempat pasar tradisional tersebut. Saban hari, sampah pasar dikumpulkan oleh petugas dengan gerobak sampah kemudian dibawa ke depo di belakang pasar. Sama seperti yang dilakukan Suhar di Probolinggo, sampah yang terkumpul itu disortir dan diolah menjadi kompos.
"Setiap hari Pasar Bantul menghasilkan 1,5 hingga 2 ton sampah," kata Sugito, 42 tahun, Ketua Koperasi Guyup Rukun yang juga Ketua Kelompok Kerja Pengolah Sampah Pasar Bantul. Dari sampah sebanyak itu dihasilkan 600 hingga 800 kilogram kompos. Setelah dikemas dalam wadah 20 kilogram dan 40 kilogram, pupuk kompos itu dijual Rp 600 hingga Rp 800 per kilogram.
Menurut Sugito, sebelum ada sistem pengelolaan sampah pasar, masyarakat di sekitar pasar sering mengeluhkan soal bau dan lalat yang merajalela, apalagi pada musim hujan. "Kini masyarakat tidak ada lagi yang protes karena tak ada lagi sampah yang menumpuk di sini," katanya.
Sayang, sejak Desember 2009, proses pengolahan sampah pasar menjadi kompos agak tersendat. Penyebabnya, kata Kepala Kantor Pengelola Pasar Gatot Sutedja, tim penggerak PKK yang menjadi pembeli utama menghentikan pembelian pupuk hasil olahan sampah pasar tersebut. Gatot berjanji Maret nanti pengolahan sampah pasar menjadi kompos di empat pasar tradisional Bantul akan mulai beroperasi lagi. Dinas Pertanian Kabupaten Bantul yang akan membelinya. "Dinas Pertanian juga akan membantu memasarkan ke petani," katanya.
Selain masih akan memproduksi pupuk kompos, menurut Gatot, sampah pasar nantinya akan diolah menjadi pupuk organik jenis granul. Pupuk ini sebenarnya sama dengan pupuk kompos, hanya bentuknya berupa butiran. "Petani ternyata lebih suka menggunakan kompos jenis granul," katanya.
Program Manager Yayasan Danamon Peduli Fauzan Joko menyatakan lembaganya telah mengaplikasikan program "Pasarku Bersih, Sehat, dan Sejahtera" di 31 kota. Program rutin tersebut berasal dari keprihatinan akan lingkungan di pasar tradisional yang lekat dengan asosiasi kotor, kumuh, dan becek.
Akibatnya, minat masyarakat mengunjungi pasar tradisional pun menurun drastis. "Data menunjukkan keberadaan pasar tradisional menurun 3,1 persen per tahun," katanya. Dengan adanya pengelolaan sampah yang baik, Fauzan berharap pasar tradisional akan menjadi lebih bersih dan nyaman. Gunanto E.S., David Priyasidharta (Probolinggo), Heru C.N. (Bantul)
Post Date : 28 Februari 2010
|