YOGYAKARTA, KOMPAS - Paradigma pencegahan banjir dengan pembangunan talut di bagian hilir harus diubah menjadi pencegahan banjir dengan pengelolaan dan penyerapan air di bagian hulu sungai.
Selain kurang efektif mencegah banjir, pembangunan talut berarti membuang air secara percuma. Pembangunan talut juga mematikan ekosistem pinggir sungai yang kaya organisme unik.
Hal itu dikemukakan peneliti banjir dan daerah aliran sungai dari Universitas Gadjah Mada, Agus Maryono, yang baru saja memperoleh penghargaan dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) sebagai penulis artikel terbaik nasional di bidang pekerjaan umum 2009 di Yogyakarta, Senin (7/12).
Menurut Agus, pencegahan banjir seharusnya difokuskan di daerah pedesaan di bagian hulu sungai. Caranya adalah memperbanyak daerah tangkapan air lewat konservasi lahan pertanian dan perkebunan serta membangun embung desa, tanggul pekarangan, dan sumur resapan di pedesaan yang berada di hulu sungai.
Agus memprediksi banjir bandang akan terus terjadi di berbagai kawasan Indonesia dalam 5-10 tahun mendatang. Gempa bumi hampir selalu diikuti banjir bandang pada musim hujan.
Penyebabnya, gempa bumi membuat tebing rentan longsor. ”Ciri khas banjir karena gempa bumi adalah banjir bandang yang disertai lumpur dan kayu,” katanya.
Kepala Kantor Penanggulangan, Bencana, dan Perlindungan Masyarakat Kota Yogyakarta Sudarsono mengatakan, tiga sungai yang berpotensi meluap di Yogyakarta adalah Kali Code, Winongo, dan Gajahwong. Daerah di sekitar tiga sungai itu dihuni ratusan hingga ribuan orang. ”Memasuki musim hujan, kami mulai menyosialisasikan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi banjir,” katanya.
Menurut Sudarsono, pencegahan banjir di daerah sekitar sungai sulit dilakukan karena sebagian masyarakat masih menggunakan sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini sulit dikontrol.
Pembersihan sungai perlu dilakukan menjelang musim hujan. Upaya ini sangat terbantu dengan adanya komunitas peduli sungai. (IRE)
Post Date : 08 Desember 2009
|