Para Pengojek Pun Ikut Hijaukan Papandayan

Sumber:Kompas - 07 April 2010
Kategori:Air Minum

Jangan remehkan keberadaan penarik ojek di kawasan kaki Gunung Papandayan. Mereka tak hanya jago melintasi medan berat berbukit terjal penuh batu, tetapi juga memiliki komitmen tinggi pada keselamatan alam dan lingkungan sekitarnya.

Kesadaran tanpa pamrih itu berawal dari pola pikir sederhana yang telah menjadi semacam sikap hidup: leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak. Hutan rusak, air habis, manusia sengsara. Bahwa hutan yang terpelihara baik akan menjamin ketersediaan air. Lebih dari itu, menjaga kelangsungan hidup manusia.

Bagi puluhan penarik ojek di Desa Sirnajaya, Desa Cipaganti, dan Karamatwangi, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat, hutan dan ekosistemnya adalah amanah. Berangkat dari kesadaran dan pemahaman akan pentingnya hutan, selama bertahun-tahun, secara swadaya mereka menanami lahan-lahan kritis di kawasan Gunung Papandayan dengan aneka jenis pohon, seperti yang mereka lakukan akhir pekan lalu.

Sejak Sabtu (27/3) pagi, 15 sepeda motor telah diparkir di lahan parkir obyek wisata Gunung Papandayan. Hari itu, sedikitnya 20 pengojek—mayoritas berusia 20-30 tahun—dari Desa Sirnajaya, Cipaganti, dan Karamatwangi tengah bersiap-siap menanami lahan kritis di sekitar hulu Sungai Cibeureum di lereng Gunung Papandayan.

Sungai Cibeureum menjadi sumber air bagi sejumlah desa di kaki Papandayan. Sungai ini mengalir ke Sungai Cimanuk, yang di bagian hilir digunakan untuk mengairi ribuan hektar sawah di pantai utara Jawa.

”Hari ini kami akan menanam sekitar 1.300 bibit pohon puspa. Kenapa puspa, karena hulu Sungai Cibeureum merupakan habitat puspa,” kata Pipin Suryana (50), sesepuh pengojek di Gunung Papandayan.

Sebagian besar penarik ojek mengendarai sepeda motornya untuk menuju lokasi penanaman. Namun, ada juga yang berjalan kaki. Jalur yang mereka tempuh adalah hamparan material vulkanis bekas letusan Papandayan pada 2002. Bukan ”tukang” ojek gunung jika takut bersepeda motor dengan beban bawaannya ke atas gunung, melintasi kawah Papandayan.

Kebanyakan sepeda motor mereka produksi lama yang sudah dimodifikasi. Ada yang dipasangi empat peredam getaran (shokbreker), ada juga yang ban belakangnya dililit rantai agar gampang lewat ketika melintasi jalan berlumpur. Maklum saja, motor-motor itu biasa mengangkut beban pupuk atau kentang di pegunungan hingga tiga kuintal beratnya.

Secara swadaya

Telah bertahun-tahun lamanya mereka menanami lahan kritis di kawasan Papandayan. Dalam sekali penanaman, sedikitnya 1.000 bibit pohon mereka tanam. Semua bibit itu disediakan secara swadaya.

Kegiatan penanaman dilakukan spontanitas. Kadang mengajak organisasi pencinta lingkungan di sekitar Garut atau bahkan dari luar kota, tetapi sering kali penanaman hanya dilakukan komunitas ojek saja bersama warga setempat.

Setelah ditanam, pohon-pohon itu itu sesekali ditengok oleh para pengojek. Pohon yang mati diganti pohon baru. Saat ini, pohon yang ditanam komunitas ojek Papandayan telah ada yang setinggi dua meter dengan diameter sekitar 20 sentimeter.

Menurut Pipin, kesadaran para pengojek itu timbul setelah melihat film tentang kerusakan lingkungan yang diputar di rumahnya. Dari situ, setiap obrolan santai di antara mereka mulai muncul topik seputar masalah lingkungan, hutan, dan air. Obrolan semacam itu akhirnya menggugah kesadaran mereka. Mereka pun akhirnya tergerak ikut menjaga kelestarian hutan dengan cara menanami lahan kritis di Gunung Papandayan.

Namun, motivasi paling kuat yang menggerakkan para pengojek ini ialah ketersediaan air. Hutan rusak tak akan mampu lagi memberikan sumber air yang cukup bagi warga yang tinggal di sekitar hutan sekalipun. Oleh karena itu, kalau bukan warga sekitar hutan, siapa lagi yang akan menjaga hutan?

”Jangan sampai terjadi warga di sekitar hutan justru kesulitan air,” kata Pipin, yang juga adalah pegawai honorer Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam di Resor Papandayan Timur.

Lagi pula, kata Nandang Supriadi (37), warga Cisurupan yang ikut menanam bersama komunitas ojek, masyarakat tidak bisa menggantungkan pengawasan hutan hanya kepada petugas. ”Warga sekitar hutan yang jumlahnya jauh lebih banyak justru perlu berinisiatif menjaga hutan,” ujar Nandang.

Saling mengingatkan


Kini, kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan telah tertanam dengan baik dalam diri sebagian besar penarik ojek di Papandayan. Tak aneh bila mereka akan mengingatkan jika menemukan ada warga yang masih mengangkut kayu hasil pembalakan dari hutan. Mengingatkan bahwa merusak hutan sama saja membunuh masa depan anak cucu mereka.

”Saya sering sedih kalau melihat masih ada yang merusak hutan. Padahal, kami tidak pernah berhenti menanami. Kalau pas ketemu dengan ojek lain yang masih membawa kayu dari hutan, ya, kami ingatkan mereka untuk tidak mengulanginya lagi,” tutur Yanyan (28), penarik ojek dari Kampung Pasirtalang, Desa Sirnajaya.

Menurut ayah dua anak itu, dalam sehari mengojek ia mendapat rata-rata Rp 30.000. Namun, ketika ada kegiatan penanaman pohon di hutan, ia dengan sukarela meluangkan waktu mengikuti kegiatan itu. ”Saya senang bisa ikut mengurus hutan. Kalau tidak diurus, hutan pasti akan rusak,” ujarnya.

Ternyata sumbangsih para pengojek gunung itu tidak hanya sebatas penanaman. Setiap kali cagar alam atau hutan di taman wisata alam Papandayan terbakar, mereka juga yang paling depan memadamkan api.

Apa yang dilakukan para penarik ojek dari Papandayan adalah contoh kecil dari mereka yang mulai berbuat demi kelestarian hutan. Di tengah aktivitas mencari uang untuk anak-istri, mereka masih mau meluangkan waktu dan berkorban untuk sesuatu yang jauh lebih berharga. (Adhitya Ramadhan)



Post Date : 07 April 2010