|
Denpasar, Kompas - Pendekatan hidrologi untuk mengatasi ancaman krisis air di dunia, termasuk Indonesia dinilai tidak cukup lagi. Para ahli kini berpaling ke pendekatan ekohidrologi yang lebih menyeluruh. Pendekatan holistik penting karena air sebenarnya tidak berdiri sendiri. Keberadaannya terkait kondisi lingkungan seperti hutan, sungai, tutupan lahan, dan komponen alam lainnya sehingga penanganannya lintas sektoral. Terkait kampanye ekohidrologi sebagai solusi ancaman terjadinya krisis air global, lebih dari seratus ahli di kawasan Asia Pasifik berkumpul di Denpasar, Bali, dalam Simposium Internasional untuk Ekohidrologi. Kami berkomitmen mempromosikan pendekatan ekohidrologi dalam menangani isu-isu air, kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Umar Anggara Jenie dalam sambutan yang dibacakan Deputi Ilmu Kebumian Dr Jan Sopaheluwakan, Senin (21/11). Secara khusus, Umar menyoroti kecenderungan memperlakukan alam sebagai modal (natural capital) sedangkan aspek lain seperti biota yang mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia terabaikan. Sumber daya alam terus dieksploitasi tanpa henti, seolah-olah air tersedia tanpa batas. Akibatnya, ketersediaan air bersih terus merosot. Air bawah tanah pun disedot besar-besaran dengan kecepatan yang melebihi kecepatan Bumi mengisi ulang ketersediaan air bawah tanah. Kondisi ini diperparah dengan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, konversi lahan karena pertambahan penduduk atau industri, hingga pencemaran air yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Salah satu pembicara kunci dari Polandia, Prof Maciej Zalewski mengatakan, pendekatan ekohidrologi bila dilakukan secara benar dapat mengurangi degradasi lingkungan, menjamin keberlanjutan air, ekosistem, dan masyarakat. Salah satu persoalan penting yang harus dilakukan dalam proses ekohidrologi, para ahli harus memiliki data selengkap mungkin mengenai obyek yang akan ditangani. Meskipun butuh waktu, pemulihan alam seperti daur hidrologi sangat penting. Menurut Zalewski, ketidakstabilan proses hidrologi mempengaruhi peningkatan suhu global seperti sekarang. Mengenai dampaknya, para peneliti dari Mongolia dan Selandia Baru mengungkapkan terjadinya peningkatan lelehan lapisan salju dari tahun ke tahun. Di Indonesia Perwakilan UNESCO bidang Hidrologi/Geologi untuk Asia Pasifik Giuseppe Arduino mengungkapkan, Indonesia merupakan negara kaya air. Namun, secara kualitas termasuk buruk. Karena itu, penerapan ekohidrologi perlu dilakukan di kawasan seperti itu. Kepala Badan Litbang Departemen Pekerjaan Umum Basuki Hadimulyono mengakui, kualitas air di Jawa, khususnya Jakarta buruk. Pihaknya telah menggunakan sarana yang ada untuk meningkatkan kualitas tersebut.(GSA) Post Date : 22 November 2005 |