|
Serang, Kompas - Ratusan warga di sepanjang pantai utara Kabupaten Serang, Banten, kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka terpaksa berjalan kaki hinga belasan kilometer untuk mengambil air, ataupun membeli air bersih. Keadaan seperti itu salah satunya terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Kasemen, serta Desa Banten, Kasunyatan, Margaluyu, Sawahluhur, dan sebagainya. Umumnya warga mendapatkan air bersih dengan membeli pada tetangga, atau penjual air keliling dengan harga cukup tinggi. Itu pun hanya digunakan untuk keperluan memasak saja. Dalam satu hari, rata-rata warga membutuhkan tiga hingga lima jeriken air bersih, atau sekitar 15-25 liter. "Kalau saya, biasanya mengambil ke rumah tetangga yang punya air PAM, sekali sehari. Bayarnya sebulan sekali Rp 15.000," ujar Nurhasanah, warga Desa Kasunyatan. Berbeda dengan Nurhasanah, umumnya warga di sepanjang Sungai Cibanten, seperti Desa Banten dan Margaluyu, membeli air bersih dari penjual keliling. "Kalau pas ada penjual air, biasanya beli Rp 1.500 per jeriken," tutur Armanah, warga Desa Banten. Sementara untuk keperluan mandi, mencuci, dan aktivitas domestik lain, biasanya warga menggunakan sungai di sekitar tempat tinggalnya. Padahal, air sungai di sepanjang pantura tidak layak digunakan, karena berwarna coklat, berbau, dan mengandung lumpur. Apalagi saat ini, aliran air sungai mulai surut. Kondisi terparah ditemukan di Desa Lontar Kecamatan Tirtayasa. Untuk mendapatkan air bersih, warga harus berjalan hingga belasan kilometer. Beberapa diantaranya, harus membeli hingga ke luar desa. Bahkan, untuk mandi dan mencuci pun warga terpaksa menggali tanah di tanah lapang atau di dekat tambak ikan bandeng. Pasalnya, air sungai yang mengalir di sekitar desa tidak layak lagi digunakan. Selain berwarna hitam pekat karena tercampur lumpur dan sampah, airnya pun berbau tidak sedap. "Ya begini, harus menggali tanah dulu untuk mandi dan mencuci. Kalau airnya sudah habis, ya terpaksa menggali tanah lagi. Malah kadang-kadang, pas menggali enggak keluar airnya," kata Semah, warga Lontar. Sebenarnya, warga sudah bertahun-tahun kesulitan mengakses air bersih. Namun mereka mengaku, belum pernah mendapat bantuan air bersih dari pemerintah setempat. "Kalau bantuan air bersih, rasanya belum pernah ada. Dari dulu ya begini, beli air terus," kata Nurhasanah. Oleh karena itu warga berharap, pemerintah bersedia memperhatikan kesulitan mereka. Minimal, dengan menyediakan sarana air bersih tanpa harus memungut biaya dari warga. Menurut data dari Pemerintah Provinsi Banten, hingga awal tahun 2005, baru 48 persen wilayah yang memiliki akses air bersih. Sedangkan 58 persen wilayah lainnya, masih kekurangan air bersih. (NTA) Post Date : 29 Juni 2006 |