|
BEKASI- Pansus 49 yang baru dibentuk DPRD Kota Bekasi beberapa hari lalu dituntut bekerja serius. Pasalnya, dewan selama ini dinilai belum peka menyoal masalah TPA Bantargebang. ''Mestinya, dalam setiap proses pengambilan kebijakan, harus melibatkan semua stakeholder yang ada di Bekasi,'' kata Abdul Muis, Dekan FISIP Unisma, dalam dengar pendapat antara Forum Bersama Masyarakat Peduli Kota Bekasi (FBMPKB) dengan DPRD Kota Bekasi, Rabu (14/1) di Ruang Aspirasi 1 DPRD Kota Bekasi. Sebelum nota kesepakatan (MoU) pengelolaan sampah TPA Bantargebang antara Pemkot Bekasi dengan Pemprov DKI berakhir pada tanggal 31 Desember 2003 lalu, lanjut Muis, harusnya sudah melalui mekanisme tersebut. `'Sehingga, masyarakat diikutsertakan dalam membuat keputusan,'' ujarnya. Hal senada diungkap oleh Harun Al Rasyid, dari Pusat Studi Pembangunan dan Lingkungan (Puspaku). Menurutnya, TPA Bantargebang yang sebenarnya lebih bersentuhan dengan masalah lingkungan, justru digeser ke masalah politik. `'Padahal, politik sudah masuk ke wilayah abu-abu, sehingga tidak ada hitam atau putih,'' ujarnya. Pergeseran persoalan sampah dari masalah lingkungan ke masalah politik tersebut berdampak pada penggunaan isu sampah sebagai alat politik. Memang, dalam UU Lingkungan, lanjut Harun, setiap pengelola yang melakukan kegiatan berdampak pada lingkungan harus memberi kompensasi, baik berupa kesehatan, air bersih dll. Namun, kata Harun, kompensasi yang diterapkan di TPA Bantargebang, yang jelas-jelas berdampak pada lingkungan, sama sekali tidak melibatkan masyarakat. Rahmat Damanhuri, ketua Forum Arisan Pikir (Fakir) Bekasi, juga menyuarakan tuntutan serupa. Rahmat berharap agar pansus 49 bisa menjadi pansus beneran. `'Saya kecewa dengan sikap dewan yang menggelar `pertemuan setengah kamar' dalam berbagai kebijakannya,'' ujarnya. Sementara itu, Deden Nugraha, Ketua Fraksi FTNI/Polri, justru menyayangkan sikap Pemkot Bekasi maupun Pemprov DKI. Kalau memang mau ganti manajemen, ujar Deden, harusnya dilakukan secara alami. `'Namun, semuanya kok nyantai saja menjelang 31 Desember 2003,'' katanya. Maka tak heran jika muncul polemik berkepanjangan. Sepakat dengan apa yang diungkapkan Deden, Nurul Yakin Setiabudi, Ketua FPAN, menilai kedua pemerintahan tersebut tidak memiliki kearifan sikap. Padahal, kata Nurul, antara Pemkot Bekasi dan Pemprov DKI sebenarnya saling membutuhkan. Dalam relasi yang saling membutuhkan tersebut, lanjut Nurul, mestinya kedua pemerintahan tersebut bisa bersikap arif. `'Nah, pansus 49 tersebut dibentuk agar kita memiliki kearifan,'' ungkapnya. Secara terpisah, menyikapi tuntutan tersebut, Wahyu Priantono, ketua pansus 49 ketika dihubungi Republika menyatakan tidak ada yang tidak serius dalam pansus tersebut. ''Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat melihat kelompok-kelompok kepentingan yang ada di dalam pansus 49,'' ujarnya. Banyak sekali pansus, lanjut Wahyu, menjadi tidak optimal gara-gara banyaknya kepentingan yang dititipkan pada orang-orang yang terlibat di dalam pansus. Post Date : 15 Januari 2004 |