|
Sekitar enam bulan lalu Ita Safriza (38) merasa langsung terpikat dengan bunyi iklan sebuah perumahan di Depok yang menyebut, Panorama Gunung Salak di Depan Mata. Rumah idaman dengan harga terjangkau memang telah lama diimpikannya setelah bertahun- tahun mengontrak. Ita tak mengira rumah idamannya itu kini malah mirip dengan peternakan lalat. Karena daya pikat iklannya, Ita dan suaminya, Dedi, sepakat mencicil satu unit rumah tipe 36 di perumahan itu yang bernama Villa Mutiara Cinere di Kelurahan Grogol, Kecamatan Beji, Depok. Label Cinere sebenarnya hanya gimmick sebab letak perumahan itu pun bukan di Kelurahan Cinere. Baru tahu wujud rumahnya pas sudah dibangun. Waktu pesan cuma lihat rumah contoh. Enggak nyangka banget, ternyata bukan panorama Gunung Salak di depan mata, malah gunungan sampah, ujar Ita, ibu dari dua anak dan seorang balita. Kini, Ita mencicil rumahnya itu sebesar Rp 425.000 setiap bulannya selama 15 tahun. Ita tidak berlebihan, tepat sekitar 200 meter di hadapan rumahnya, terbentang lahan seluas sekitar empat hektar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, yang ternyata ilegal. Disebut ilegal karena TPA tersebut tanpa uji amdal dan lahan yang digunakan pun bukan diperuntukkan sebagai TPA. Lahan TPA itu berlokasi di Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, yang terpisah oleh Kali Krukut dengan Villa Mutiara. Saban hari para warga di Villa Mutiara itu harus bertahan menghadapi bau busuk serta serbuan ratusan lalat hijau. Tak heran, di setiap rumah, terutama yang berdekatan dengan TPA ilegal tersebut, selalu tampak sedotan yang mengandung lem atau kertas coklat berlemyang berbau amisuntuk perangkap lalat. Kalau saya turutin, sehari bisa habis satu pak isi 15 batang sedotan buat lalat. Herannya, lalatnya tetap aja banyak, ujar Ita. Perumahan Villa Mutiara, yang terletak di sebelah utara TPA ilegal, memang menjadi permukiman yang paling berdekatan dengan TPA tersebut. Sementara permukiman lainnya di luar kompleks berada agak jauh di sebelah selatan TPA dengan lokasi tanah yang lebih tinggi dan masih dibatasi dengan pepohonan yang cukup lebat. Dengan demikian, warga di wilayah selatan TPA relatif tidak terlalu terganggu dengan keberadaan TPA. Sampah elite Ini (TPA Red) sudah ada lebih dulu dari kompleks (Villa Mutiara Red) itu. Di sini kita cuma cari makan, sampai kapan pun saya pertahanin, tukas Sri, pengelola sampah di TPA ilegal tersebut. Sambil mengisap sebatang rokok keretek, tangannya sibuk mengangkat dan menimbang sampah-sampah sortiran. Telinga, leher, dan tangan perempuan setengah baya itu dihiasi dengan emas kuning yang cukup mencolok. Sri enggan bercerita bagaimana awal mula dia mengelola TPA. TPA itu berawal sejak tahun 1998, dan semakin lama semakin besar. Menurut berbagai sumber dari warga sekitar dan juga Kantor Kelurahan Tanah Baru, Sri mendapat mandat untuk mengelola lahan tersebut dari pemilik tanah, seorang warga Jakarta. Sang pemilik yang berinisial Ny RT tersebut awalnya menginginkan lahannya yang sebelumnya berupa rawa, bisa rata dengan tanah. Tak jelas apakah Ny RT itu mengizinkan Sri memanfaatkan lahan itu menjadi TPA secara ilegal. Sumber di Kantor Kelurahan Tanah Baru juga menyebut bahwa Ny RT ternyata juga memiliki sebuah pabrik roti di Tanah Baru, yang kadang sering dikunjunginya. Sehingga besar kemungkinan keberadaan TPA ilegal itu atas sepengetahuan si pemilik lahan. Dengan bangga Sri mengungkapkan, dia banyak memiliki klien-klien besar yang membuang sampah di tempatnya. Selain sampah kiriman Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Sri menyebut sejumlah perumahan di kawasan Pondok Indah, Kemang, Serpong, Cipete, dan Bintaro. Tak hanya itu, dia juga menyebutkan nama hypermarket terkenal di kawasan Lebak Bulus dan Serpong yang juga membuang sampah di areal TPA ilegal tersebut. Untuk klien di perumahan, Sri memungut rata-rata Rp 25.000 setiap bulan sebagai biaya pengambilan sampah, dengan tiga truk operasional. Sepertinya, Sri hanya meminati sampah-sampah elite. Saya juga mau terima sampah dari apartemen. Tapi kalau sampah pasar, saya enggak mau, sampahnya terlalu cepat matang, tuturnya. Boleh jadi, selain dinilai terlalu cepat matang alias busuk, sangat sedikit yang bisa dijual kembali dari sampah pasar. Berbeda dengan sampah elite, cukup banyak barang buangan yang bisa dipungut pemulung untuk dijual kembali. Sri mengkomandani 47 pemulung yang tinggal dan bekerja di TPA ilegal tersebut. Para pemulung itu sebagian besar datang dari berbagai daerah, bukan warga sekitar. Dilematis Bulan Juni lalu warga di Villa Mutiarayang terdiri dari 400 keluargamengajukan tuntutan penutupan TPA tersebut kepada Pemerintah Kota Depok melalui surat yang juga ditembuskan kepada DPRD Depok. Namun, hingga kini tanda-tanda penutupan belum juga tampak. Sekalipun Pemkot Depok telah mengirim surat perintah penutupan kepada Sri, namun surat saja rupanya tak membuat Sri gentar. Saya enggak mau direcokin, kami di sini cari rezeki halal. Saya enggak peduli sama surat, apalagi sama orang-orang kompleks itu, tukasnya sengit. Kepala Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Depok, Walim Herwandi, mengakui, tidak mudah menutup begitu saja TPA tersebut secara represif. Walim menyadari, TPA tersebut sudah telanjur menjadi gantungan hidup puluhan pemulung. Penutupan secara paksa hanya memancing kecemburuan sosial, terlebih tuntutan datang dari warga kompleks perumahan. Kita akan berusaha musyawarah dulu, dimulai dari tingkat kelurahan dan kecamatan setempat. Kalau susah juga, mungkin terpaksa dengan Satpol Pamong Praja, ujar Walim. Kepala Seksi Kebersihan Jalan dan LH Dinas DKLH, Komaruddin Daiman, menuturkan, TPA ilegal tersebut sebenarnya pada tahun 2003 pernah dimanfaatkan oleh DKLH juga untuk membuang sampah Depok ketika TPA resmi di Cipayung sekitar tiga bulan belum selesai dibenahi. Ketika itu keadaan darurat, tapi setelah itu kami enggak pernah buang di sana lagi, tapi ke Cipayung, yang sudah terkelola lebih baik dengan sistem sanitary landfill, ujar Komaruddin. Komaruddin, yang sering memergoki truk Dinas Kebersihan Jakarta membuang sampah di tempat itu, mengaku juga serba salah menyikapi TPA ilegal tersebut. Bertahun-tahun yang lalu, meskipun ilegal, TPA itu tidak menuai protes banyak warga karena memang tidak terlalu dekat dengan perkampungan. Namun, sejak awal tahun 2005 ini, ketika permukiman Villa Mutiara mulai berpenghuni, protes baru berdatangan. Penutupan memang dilematis, apalagi jika ada oknum-oknum ketua RT atau RW di perkampungan yang menerima setoran dari Ibu Sri. Jadi, seolah banyak yang punya kepentingan dengan TPA tersebut, ujar Komaruddin. (Sarie Febriane) Post Date : 26 Juli 2005 |