Pandanglah Sampah sebagai Bahan Baku

Sumber:Kompas - 24 April 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Mengolah sampah menjadi barang bernilai ekonomis sebenarnya tidak sulit. Dengan cara sederhana dan manual, sampah yang sering dianggap barang tidak berharga itu nyatanya bisa mengalirkan uang yang cukup menggiurkan kepada orang yang mampu memanfaatkannya.

Dengan mulai mengembangkan kelompok-kelompok pengolahan sampah minimal menjadi kompos atau kertas daur ulang, semisal di tingkat rukun warga (RW), persoalan sampah di Jakarta sebenarnya bukan lagi bumerang. Ketika masyarakat bisa memandang sampah sebagai bahan baku dan bukan barang yang tidak berharga, kegiatan ekonomi pun perlahan-lahan akan tumbuh.

Upaya untuk bisa memanfaatkan potensi ekonomi sampah itu mulai dilakukan warga RW 01, 02, dan 08 Ancol Barat, Pademangan, Jakarta Utara. Bekerja sama dengan PT Pembangunan Jaya Ancol, warga mulai menggiatkan pengolahan sampah. Kader Peduli Lingkungan (KPL) RW 08 sejak dua tahun lalu menjadi pemasok kompos untuk kebutuhan PT Pembangunan Jaya Ancol. Pada tahun ini, misalnya, sudah ada pesanan sebanyak 30 ton dengan harga Rp 750 per kilogram.

"Kompos ini juga kami jual kepada pihak lain. Memang produksinya masih sedikit, enam ton per bulan, sebab pengerjaannya benar-benar pakai tenaga manusia. Termasuk mencacah sampah yang butuh waktu lama hanya pakai pisau," kata Marzuki, koordinator pembuatan kompos.

Sampah warga yang dikirim ke lokasi pembuatan kompos bermerek ASL, yang merupakan singkatan dari Ancol Sayang Lingkungan, itu dipilah-pilah ke dalam beberapa bak. Sampah organik untuk kompos dan kertas-kertas dari perusahaan sekitar dijual sebagai bahan baku kertas daur ulang.

Pembuatan kertas daur ulang yang dipakai sebagai kertas, amplop, tas, dan kartu nama dilakukan KPL RW 02. Sebanyak 40 warga terlibat dalam pembuatan kertas daur ulang secara manual.

Mereka memblender kertas yang sudah direndam sehingga menjadi bubur kertas. Untuk memperindah kertas daur ulang, ditambahkan juga serat dari eceng gondok, suji, beluntas, dan pelepah pisang. Bubur kertas yang dicetak itu lalu dipindahkan ke papan untuk dijemur. Jika sudah kering, kertas daur ulang dirapikan dan dipotong sesuai ukuran yang dibutuhkan.

Dwi Haryanto, Lurah Ancol, mengatakan, adanya pengolahan sampah di wilayah ini menyebabkan sisa sampah yang dibuang ke TPA Bantar Gebang setiap harinya hanya sekitar 8 meter kubik dari 80 meter kubik yang dihasilkan warga.

Ubah paradigma soal sampah

Menurut Bagus Teguh Prayogo, Kepala Bidang Community Development PT Pembangunan Jaya Ancol, pihaknya ikut membantu kegiatan warga Ancol Barat ini sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat. Sebagian produksi kompos dan kertas daur ulang dibeli untuk kebutuhan PT Jaya Ancol.

Apa yang dilakukan warga Ancol Barat itu diharapkan terus berkembang. "Dengan program ini, ekonomi masyarakat bisa meningkat. Selain itu, kepedulian tentang lingkungan juga ikut ditumbuhkan," katanya.

Saat mengunjungi kegiatan warga di Ancol Barat, Sabtu (22/4), anggota Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, pengolahan sampah seharusnya dilakukan di setiap RW di Jakarta. Untuk bisa ke arah sana, paradigma soal sampah harus diubah.

"Ide baik jika masyarakat terus diajak untuk bisa mengolah sampahnya sendiri. Sampah harus dianggap sebagai bahan baku yang bernilai ekonomi," kata Sarwono. (Ester L Napitupulu)

Post Date : 24 April 2006