Jakarta, Kompas - Hasil penyelidikan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi DKI Jakarta untuk tahun 2007-2008 menunjukkan kinerja keuangan Perusahaan Air Minum Jaya buruk. Kinerja yang buruk itu disebabkan oleh lemahnya pengawasan yang dilakukan PAM Jaya.
Laporan yang sudah dibuka untuk umum itu merupakan audit pertama yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, selama lima tahun PAM Jaya tak pernah diaudit. Bahkan, sampai sekarang audit yang terbaru pun belum keluar.
Penyimpangan yang ditemukan saat pemeriksaan adalah sebesar Rp 682.866.297.496 atau 11,06 persen dari realisasi anggaran pendapatan dan biaya yang diperiksa pada 2007 dan 2008 (September).
Kepala BPK Perwakilan DKI Jakarta Blucer Radjagukguk saat dikonfirmasi tidak berada di tempat. Namun, Doni A Pradana dari Humas BPK DKI Jakarta mengaku belum mengetahui ada tidaknya perbaikan yang dilakukan PAM Jaya setelah laporan itu disampaikan.
Dalam laporan BPK itu ditemukan beberapa hal yang penting. Salah satunya adalah perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dan operator swasta melanggar Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1992. Dalam perda itu dikatakan bahwa PAM Jaya bertanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta.
Kerja sama yang berlangsung selama 25 tahun ini tidak memiliki persetujuan tertulis dari Gubernur DKI Jakarta. Seharusnya, dokumen persetujuan itu diserahkan dalam jangka satu tahun sejak penandatanganan kesepakatan tanggal 13 Juni 1998. Hingga pemeriksaan BPK berakhir tanggal 31 Desember 2008, dokumen persetujuan itu belum disampaikan ke tim BPK RI.
Dalam kesepakatan kerja sama itu juga dilakukan penyerahan aset PAM Jaya kepada operator swasta dan pihak swasta tidak berkewajiban melakukan pembayaran. Pengalihan aset itu juga tanpa persetujuan Gubernur DKI Jakarta.
Tidak adanya persetujuan tertulis Gubernur DKI Jakarta kepada direksi PAM Jaya untuk mengadakan perjanjian kerja sama dan memindahtangankan benda tidak bergerak milik PAM Jaya mengakibatkan perjanjian itu tidak sah secara hukum karena tidak terpenuhinya ketentuan yang berlaku. Semua akibat yang ditimbulkan perjanjian ini menjadi tanggung jawab direksi PAM Jaya.
Dokumen persetujuan ini sangat penting karena menjadi mekanisme yang terlebih dulu harus dilakukan sebelum perjanjian itu dilaksanakan; walaupun dalam perjanjiannya gubernur ikut menandatangani.
Rekening
Pemeriksaan BPK juga menemukan bahwa PAM Jaya tidak mengetahui jumlah pasti uang yang dibayarkan pelanggan kepada agen penagihan, seperti bank dan kantor hubungan pelanggan. Perjanjian dengan agen penagihan dilakukan sepenuhnya mitra swasta tanpa melibatkan PAM Jaya. PAM Jaya tak pernah mendapatkan data hasil tagihan rekening air yang langsung berasal dari agen penagihan, bahkan PAM Jaya tidak tahu nomor-nomor rekening agen penagihan.
Data hasil tagihan rekening air yang dimiliki PAM Jaya berasal dari swasta dalam bentuk file yang disebut Master Cetak, Master Bayar, Mutasi Pelanggan, dan Pemasangan Baru.
Kondisi ini berbeda dengan perjanjian kerja sama bahwa semua laporan keuangan yang disampaikan agen penagihan juga dibuatkan salinannya dan dikirimkan ke PAM Jaya. Atas permasalahan itu, Direktur PAM Jaya Maurits Napitupulu mengatakan, pihaknya telah berulang kali meminta salinan laporan dari agen penagih kepada pihak swasta, tetapi tak mendapatkan tanggapan. ”Seharusnya kami ikut menandatangani berita acara laporan dari agen penagihan. Namun, kami tidak diberi izin oleh swasta sehingga kami tidak tahu apakah laporan yang diberikan kepada kami benar adanya,” kata Maurits.
Sementara itu, Meyritha Maryanie dari Corporate Communication PT PAM Lyonnaise Jaya, salah satu operator swasta, mengatakan, semua uang yang ditagih dari rekening dimasukkan langsung ke rekening penampung yang hanya bisa diakses Palyja dan PAM Jaya. Dengan demikian, PAM Jaya bisa mengetahui jumlah yang sebenarnya.
Mengenai perjanjian kerja sama, Meyritha mengatakan, Palyja selalu terbuka untuk melakukan renegosiasi. ”Perjanjian kerja sama itu juga sudah beberapa kali diperbaiki.” (ARN)
Post Date : 15 Juni 2011
|