|
Jakarta, Kompas - Pengelolaan air bersih di Jakarta yang dilakukan secara monopoli ternyata tak mampu mendatangkan keuntungan bagi Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya). Perusahaan air itu bahkan mengaku tak mampu membayar utang Rp 1,6 triliun kepada pemerintah pusat. Hal itu terungkap dalam rapat kerja antara direksi PAM Jaya dan Komisi A DPRD DKI Jakarta, Jumat (20/5). Dalam rapat kerja itu, direksi PAM Jaya mengajukan draf penyempurnaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan air Minum. Direktur Teknik dan Operasional PAM Jaya Kris Tetuko menjelaskan, selama ini PAM Jaya hanya bisa membayar bunga utang, sementara utang pokok belum berkurang. Utang pokok yang ditanggung PAM Jaya sebesar Rp 770 miliar. Namun, utang itu membengkak menjadi Rp 1,6 triliun karena terkena denda dan bunga. Utang dari pemerintah pusat, menurut Kris, terjadi sejak tahun 1975 untuk membangun instalasi penjernihan air di Pulo Gadung, Buaran I dan II, jaringan pipa induk, serta distribusi senter. Dalam rapat kerja itu, anggota Komisi A menyoroti buruknya kinerja PAM Jaya dan dua mitra asingnya, PT Thames PAM Jaya (TPJ) dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja). Inggard Joshua, anggota Komisi A, mengatakan, ada kesalahan pengelolaan di tubuh PAM Jaya. Selama ada kerja sama dengan mitra swasta, perusahaan itu terus merugi dan banyak utang. "Jangan sampai beban utang ini terus-terusan dibebankan ke masyarakat," kata Inggard. Dalam pertemuan itu, PAM Jaya meminta agar anggota DPRD DKI segera membahas draf penyempurnaan Perda No 11/1993. Alasannya, supaya perda itu tidak kontradiktif dengan perjanjian kerja sama yang sedang dibuat dengan mitra swasta. Namun, anggota DPRD malah meminta PAM Jaya memberikan draf perjanjian kerja sama terlebih dulu kepada Komisi A. "Kita harus tahu dulu apa isi kerja sama dengan mitra swasta. Jangan sampai isi kerja sama itu merugikan rakyat," kata Sitinjak, Sekretaris Komisi A. Kesulitan air Menyusul dilakukannya pemutusan sambungan liar bagi warga yang bermukim di kolong tol sehari sebelumnya, kini warga mulai merasakan kesulitan memperoleh air bersih. Dalam pengamatan Kompas, memang masih ada sebagian warga yang mendapatkan saluran air bersih, tetapi sebagian besar tidak lagi mendapat sambungan. Untuk itu, warga harus berlangganan air pikulan yang harganya Rp 1.000 untuk dua jeriken. Beberapa WC umum di kolong tol permukiman liar di Pejagalan itu kemarin juga tampak tidak lagi menerima aliran air bersih dari pipa paralon yang terpasang. Namun, kata Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Metropolitan Penjaringan Inspektur Satu Jamaluddin, sejauh ini tidak terjadi gejolak berarti. (ind/NAW) Post Date : 21 Mei 2005 |