Pagi Sekolah, Malam Memulung Sampah

Sumber:Kompas - 06 Maret 2006
Kategori:Sampah Jakarta
Dengan karung plastik di pundak, Defi Ramanda (12) mulai menyusuri Jalan Sekretaris Negara, Cipondoh, Kota Tangerang, Sabtu malam lalu. Sudah enam bulan ini pelajar kelas I SMP Al Mustofa, Cikokol, itu sekolah nyambi menjadi pemulung sampah untuk meringankan beban orangtua.

Defi tidak sendirian. Ia memulung sampah bersama ayahnya, Muhamad Ramdan (38), serta kedua kakaknya, Ivan Nofiana (16) dan Irwan Munajar (14). Ivan sekarang kelas I di sebuah SMA swasta di Serpong, sedangkan Irwan kelas II SMP di tempat Defi sekolah.

Setiap hari sepulang dari sekolah Defi dan Irwan belajar. Pukul 15.00 mereka berangkat memulung sampah plastik, kardus, botol air mineral, dan kaleng. Pulang pukul 17.30 untuk mandi dan salat maghrib. Pada malam hari mereka kembali berkeliling perumahan mencari sampah. Tak jarang mereka pulang hingga larut malam.

Awalnya malu, tapi mau apa lagi, nyatanya miskin, kata Irwan, Minggu (5/3) di rumahnya. Meski awalnya malu, tetapi tak menyurutkan langkah Irwan, Defi, dan Ivan mencari sampah, membantu orangtuanya.

Kalau di sekolahan kadang- kadang dibilang, ihh bau, bau. Saya kadang sedih. Tapi justru anak saya yang pandai menghibur. Defi bilang, Sudahlah Bu, jangan malu, kenyataannya memang begini. Mudah-mudahan bisa berubah nanti, cerita Endang Kasipah (35), tersenyum getir, menirukan ucapan anaknya yang menenteramkan hati.

Nunggak biaya sekolah

Ramdan mengatakan, setiap 20 hari sekali mereka mendapat uang Rp 300.000 dari hasil menjual sampah yang dikumpulkan bersama anaknya. Uang itu lalu dibagi untuk membeli beras dua liter sehari Rp 6.600, belum termasuk lauk. Ongkos sekolah Ivan per hari Rp 10.000, karena jauh, sedangkan ongkos Irwan dan Defi berdua Rp 5.000.

Hingga bulan Maret ini, orangtua mereka masih menunggak biaya sekolah Irwan Rp 900.000. Biaya itu meliputi uang buku, bangunan, daftar ulang, buku tahap II, komputer, serta uang bulanan Rp 45.000. Tunggakan itu sejak dua tahun lalu.

Dengan rincian yang sama, tunggakan uang sekolah juga dialami Ivan Rp 1,2 juta dan Defi Rp 425.000.

Kami ingin anak kami bisa menjadi orang pintar, tidak seperti saya, kata Ramdan yang hanya jebolan kelas III SD.

Gambaran kehidupan Defi kakak-beradik dan kedua orangtuanya tergurat nyata dari kondisi rumah yang mereka huni. Mereka bahkan tak punya radio, apalagi televisi. Listrik pun numpang. (HERMAS E PRABOWO)

Post Date : 06 Maret 2006