|
JAKARTA (Media): Saat ini Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia sudah mengalami krisis penyediaan air baku untuk diolah menjadi air bersih. Diperkirakan pada 2010, pengelola air minum akan kesulitan mendapatkan air baku yang kebutuhannya terus meningkat. Direksi PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja) Kumala Siregar mengatakan hal itu pada diskusi pengelolaan sumber daya air (SDA) yang diselenggarakan Direktorat SDA Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta, kemarin. Kumala menjelaskan, kebutuhan air terus meningkat. Di Jakarta saja, katanya, setiap tahun meningkat 15%. Sementara untuk mengolah air bersih dibutuhkan air baku. Selama ini 62% kebutuhan air baku diperoleh dari Bendungan Jatiluhur, Jawa Barat. Menurut Kumala, sebenarnya kebutuhan air yang dibutuhkan Jakarta sebanyak 6,2 m kubik per detik, tetapi pasokan yang tersedia sekitar 5,4 m kubik per detik dari Jatiluhur. Air baku dari kanal-kanal di Jakarta sudah diupayakan dijadikan air baku. Namun kualitas air dari banjir kanal masih belum memenuhi syarat untuk dijadikan air baku untuk diolah menjadi air bersih. ''Kita belum mengetahui dari mana mendapatkan air baku yang diolah menjadi air minum,'' katanya. DAS kritis Sementara itu Ade Suhada, Kepala Badan Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar menjelaskan, Jabar memiliki 40 daerah aliran sungai (DAS). DAS itu sebagian besar telah mengalami kritis terutama di Bandung yang sekitarnya banyak tumbuh industri. DAS yang mengalami kerusakan parah terjadi di DAS Citarum. DAS yang kondisinya masih bagus di Jabar, kata Ade, hanya di Bogor dan Sukabumi. Ade menambahkan, SDA tidak lepas dari kawasan hutan. Namun sebagian besar kawasan hutan di Jabar telah berubah fungsi. ''Bahkan kini kondisi hutan yang masih bagus di Jabar hanya 9-10% dari total kawasan hutan,'' katanya. Kepala Sub Bidang SDA Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalbar Teddy Erwanto juga mengeluhkan soal hubungan SDA dengan kondisi lingkungan di daerahnya. Di Kalimantan Barat terdapat kawasan hutan lindung, namun sudah tidak ada lagi pepohonan. ''Yang hanya tinggal ilalang,'' katanya. Di daerahnya juga selain menghadapi masih maraknya pembalakan liar hutan (illegal logging) juga menghadapi masalah keterbatasan penyediaan air. ''Ketika hujan terjadi banjir, namun menghadapi kemarau pasti menghadapi kekurangan air. Juga air laut telah mengintrusi (merembes) ke daratan yang mencapai puluhan kilo meter,'' katanya. Sementara itu Harry Santoso, Direktur Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Dephut mengatakan, kekurangan penyediaan air tidak lepas semakin berkurangnya kawasan hutan. Sehingga debit air sungai pun berkurang dan terjadilah intrusi air laut ke daratan. Harry mengakui, luas hutan Indonesia sekitar 120 juta ha pada 1999, tetapi kerusakan hutan dan lahan mencapai 43 juta ha. ''Laju deforestasi selama 1992-1990 rata-rata 900.000 ha. Laju kerusakan selama 1995-1997 di luar Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua mencapai 1,6-2 juta ha per tahun,'' papar Harry. Menanggapi hal itu, Sudariyono, Deputi KLH Bidang Kelestarian Alam mengatakan, pemerintah sebetulnya telah melakukan upaya rehabilitasi. Salah satunya melalui gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan (GN-RHL). Hasil GN-RHL selama tiga tahun terjadi penambahan kawasan hutan sekitar tiga juta ha. Tetapi laju kerusakan hutan lebih cepat, yaitu sekitar 2,1 juta ha per tahun. Jadi tidak sebanding,'' katanya. Sementara itu, penyanyi yang juga aktivis lingkungan Ully Sigar Rusady mengatakan, diskusi dan rapat seminar mengenai SDA boleh-boleh saja sering diadakan untuk menghubungkan komunikasi antar-stake holder penyelamat SDA. ''Tetapi yang terpenting, bagaimana informasi ini tepat sasarannya kepada masyarakat,'' katanya. Menurut Ully yang juga ketua Yayasan Garuda Nusantara, masyarakat jangan hanya dilibatkan dalam penyelamatannya. Tetapi diberikan peran dan jalan keluar serta strategi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. ''Kalau mereka hidupnya tidak sejahtera dijamin mereka akan hidup dari merambah hutan,'' jelas Ully. (Drd/H-1) Post Date : 21 April 2005 |