|
Jakarta, Kompas - Sejumlah organisasi berbasis keagamaan menyatakan penolakannya terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, yang kini tengah menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi yang diajukan 16 organisasi masyarakat dan 868 warga. Penolakan mereka didasarkan pada ancaman kemaslahatan umat yang mungkin terjadi bila air benar-benar menjadi komoditas ekonomi. Padahal, air merupakan hak dasar manusia yang harus dilindungi demi pencukupannya. "Prinsipnya, segala sesuatu yang bertentangan dengan kemaslahatan harus dilawan," kata Zuhaeri dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dalam jumpa pers tentang "Agamawan Menolak Undang-Undang Sumber Daya Air" di Jakarta, Rabu (27/4). Hadir dalam jumpa pers tersebut perwakilan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Masyarakat Dialog Antar-Agama (Madia), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Semua wakil organisasi yang hadir sepakat bahwa hak atas air merupakan hak dasar umat yang harus bisa diakses. Negara harus bertanggung jawab memenuhi hal tersebut. "Sumber daya alam seperti air merupakan anugerah yang harus dikelola negara, tidak boleh dikuasai pemodal tertentu," kata Jayeng Rana dari Matakin. Meskipun menyatakan menolak, semua organisasi yang hadir tidak memiliki rencana konkret yang akan dilakukan bila MK akhirnya menerima penuh UU No 7/2004 tersebut. Mereka hanya menegaskan siap mengawal semua proses yang terjadi pascapengesahan. "Ada persoalan etis dan moral dalam proses penyusunan UU tersebut karena masyarakat tidak dilibatkan sejak awal. Karena itu, agamawan harus bergerak agar UU itu dibatalkan," kata Daniel dari Lakpesdam. Salah satu kekhawatiran besar akibat pemaksaan penerapan UU itu adalah fungsi ulama, yang nantinya hanya akan menjadi semacam pemadam kebakaran ketika muncul konflik masyarakat akibat akses air yang sangat terbatas. "Sebelum itu terjadi, agamawan perlu bergerak," lanjut dia. Akui terlambat Diakui mereka yang hadir, langkah penolakan terhadap UU SDA yang dinyatakan kemarin terkesan terlambat karena tidak sejak awal terlibat aktif mengadvokasi masyarakat atau pemerintah. Akan tetapi, saat ini dinilai masih ada waktu sebelum MK mengambil keputusan uji materi. "Ini langkah awal kami, semoga direspons positif para agamawan. Kalaupun nanti tetap disahkan, kalangan agamawan sebaiknya tetap mengontrol semaksimal mungkin kiprah para pemodal itu," kata Zuhaeri. Raja P Siregar dari Walhi menegaskan bahwa saat ini organisasi keagamaan perlu mengawal dan memberi dukungan moral kepada MK agar tidak mengambil keputusan keliru akibat tekanan yang mungkin datang dari berbagai pihak. Bila mengacu pada keputusan MK sebelumnya yang membatalkan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan karena dinilai bertentangan degan Pasal 33 UUD 1945, maka sikap yang sama semestinya juga diambil untuk UU SDA ini. Mengenai pertimbangan investasi yang banyak diajukan pihak yang setuju dengan UU SDA, sepenuhnya bukan bagian MK untuk memikirkannya. Akan tetapi, hal itu menjadi bagian departemen bersangkutan. "Bagian MK sebatas mengenai aspek konstitusinya," lanjut Raja. Untuk menghindari kemungkinan keputusan yang berbeda dengan kasus sebelumnya itulah, organisasi berbasis agama yang memiliki banyak anggota didorong mengawal dan memberi dukungan terhadap anggota majelis hakim MK. (GSA) Post Date : 28 April 2005 |