|
JUMAT siang (30/12) hujan deras mengguyur tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Kota Banjarnegara di Dusun Gunungsari Desa Winong, 10 kilometer barat daya kota setempat. Puluhan perempuan dengan pakaian compang-camping berlarian dari tempat itu menuju ke gubuk-gubuk kumuh yang berjejer beberapa belas meter di arah selatan. Lalat-lalat menempel di pakaian dan tubuh mereka, seakan hewan penyebar penyakit itu tak rela para pemulung meninggalkan tempat sampah. Bau busuk khas sampah tercium sangat menyengat. Ibarat gula, tempat itu memang selalu dikerubuti oleh semut-semut pemulung. Hampir sepanjang siang, puluhan pemulung (sebagian besar perempuan) sibuk mengais-ngais gundukan sampah. Mereka berlomba mencari limbah plastik, logam dan beling (pecahan kaca). Pedagang penadah barang bekas (rongsok) datang seminggu sekali untuk membeli hasil kerja mereka. Sejumlah pemulung, kepada KR menyatakan, sebenarnya penghasilan mereka sangat tak seberapa. Boleh tak percaya, sehari paling banter dapat mengumpulkan sepuluh kilo plastik. Itu kalau kebetulan sedang banyak sampah plastik dari kota. Harga sekilonya cuma Rp 250. Coba hitung sendiri berapa uangnya, ujar Almini (50). Pemulung lainnya, Kusriyati (30), juga membenarkan penghasilannya sangat sedikit. Kemarin saya baru jual plastik hasil kerja sebulan, cuma dapat Rp 21.000, katanya sambil tersenyum masam. Istri dari Taslim (33) yang tak punya pekerjaan tetap itu mengaku, uang sebesar tadi dibelikan beberapa kilogram beras dan jajan bagi dua anaknya. Menurut mereka, kini hanya limbah plastik terutama bekas tas kresek yang dapat mereka temukan diantara sekitar 10 truk dan kontainer sampah yang dibuang ke TPA sampah Winong. Limbah lain seperti logam, ember plastik bekas dan beling, sangat jarang karena sudah diambil oleh para pemulung di kota dari tempat-tempat sampah sebelum diangkut ke TPA. Beberapa pemulung lain menyatakan, kalau dibuat rata-rata penghasilan per hari di bawah Rp 2.000. Toh mereka tetap setia dengan pekerjaan tersebut. Kami orang susah, jadi harus cari imbuh-imbuh makan dari sampah, kata Almini. Perempuan itu menuturkan, suaminya Sudirjo (52) hanya sebagai buruh mencangkul di sawah orang dengan upah Rp 6.000 per setengah hari. Namun Sudirjo sendiri kerap menganggur, karena tak saban hari ada yang membutuhkan tenaganya. Bagi Kusriyati dan teman-temannya, menjadi pengais sampah lebih karena keterpaksaan. Kalau saja ada peluang lain yang menghasilkan, mereka ingin meninggalkan tempat sampah. Tolonglah kalau ada pekerjaan, jadi pembantu atau apa, katanya. Seorang operator alat berat di TPA sampah Winong menyatakan, kehadiran para pemulung sebenarnya sedikit banyak berperan dalam penanganan sampah. Sampah plastik tak bisa membusuk. Tanpa mereka, TPA ini akan cepat penuh, katanya. Tapi perhatian pihak luar terhadap mereka nyaris tak ada, kecuali pemberian beras dari pemerintah lewat kecamatan beberapa waktu lalu. (Mad)-c. Post Date : 02 Januari 2006 |