|
Deras air Sungai Banyuputih ibarat tuba yang diam-diam menggerogoti hidup. Air yang mengalir dari Gunung Ijen ini sangat asam, nyaris seperti air aki. Namun, kemiskinan menyebabkan warga terpaksa menggunakan air itu selama bertahun-tahun. Siang itu hujan deras mengguyur Desa Bantal, Kecamatan Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Tini (30) duduk di amben bambu bersama suami, Slamet Haryadi (30), dan anak tunggalnya, Nihari (11). Dari ruang dalam rumah gedek itu, Sungai Banyuputih terlihat mengalir deras. Anak-anak hingga orang tua merayakan limpahan air itu. Mereka mandi, menggosok gigi, mencuci beras, atau mengambil air sungai itu untuk keperluan di rumah. Banyuputih artinya ’air putih’ karena pada musim kemarau, warnanya menjadi putih kehijauan dan berbuih. Dengan ramah, keluarga buruh tani di kaki Gunung Ijen ini menyambut kami. Sesekali senyum Tini mengembang, memperlihatkan sederet gigi yang kecoklatan. Tak hanya Tini, suami dan anaknya juga mengalami masalah gigi yang sama. Keluarga Tini tidak ingat kapan gigi-gigi mereka menjadi coklat tua, keropos, dan terkikis hingga bergerigi. Mereka tak merasa aneh dengan gigi coklat itu karena semua tetangga mereka juga mengalami. Namun, gigi-gigi itu sebenarnya hanya etalase yang mengabarkan tentang perusakan tubuh karena menggunakan air yang memiliki kadar keasaman (pH) 3-4 (kadar pH air layak minum sekitar 7) dan bisa lebih asam lagi saat kemarau. Berbagai macam penyakit dalam, seperti ginjal, menghantui warga. Pencemaran Awalnya, warga Desa Bantal tak pernah menyangka air Sungai Banyuputih yang membelah desa itulah yang merusak gigi. Hingga sejak 1997, nyaris seluruh tanaman padi di desa itu tiba-tiba mati. Sri Sumarti, peneliti dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta, mengatakan, masyarakat desa awalnya mengira tanaman padi itu mati karena limbah pabrik tebu. ”Waktu kami teliti, ternyata itu disebabkan air asam dari Banyuputih,” kata Sri yang meneliti Ijen dan Banyuputih sejak 1996. ”Banyuputih mendapat pasokan air dari Sungai Banyupahit yang berhulu di Kawah Ijen,” ungkapnya. Sri menemukan, selama ratusan tahun, Kawah Ijen bocor dan mencemari Sungai Banyupahit yang merupakan hulu dari Sungai Banyuputih. Saat diukur, kadar keasaman Sungai Banyupahit bisa mencapai 0,8. Saat curah hujan kurang, tingkat keasaman di Kawah Ijen meningkat, demikian juga sungai-sungai yang mendapat pasokan airnya. Keasaman itu terbentuk lantaran tingginya kandungan asam sulfat, klorin, dan fosfor. Sejak semula, pemerintah kolonial Belanda sebenarnya telah menyadari air asam ini saat membangun Dam Banyuputih pada 1911. Mereka menggunakan air Banyuputih hanya untuk mengairi tanaman tebu yang tahan air asam. Dam itu bisa mengairi lahan seluas 3.590 hektar. Namun, sejak Indonesia merdeka, perkebunan itu perlahan berubah menjadi sawah. Warga juga mulai tinggal di sana, salah satunya keluarga Tini, generasi kedua yang tinggal di tempat itu. ”Sapi saja hanya mau mandi di sini, tidak mau meminum air ini, tetapi warga dulu selama bertahun-tahun memakainya untuk minum,” ujar Sri. Terpaksa Setelah kematian massal padi tahun 1997, warga akhirnya menyadari bahaya Banyuputih. Sejak itu, sebagian warga membuat sumur gali. Namun, hanya sedikit orang yang mampu membuat sumur. Jangankan sumur, sebagian besar warga tak memiliki jamban. Sebanyak 45 persen atau 830 keluarga di desa itu merupakan buruh tani yang miskin. Termasuk keluarga Tini yang membayar Rp 10.000 per bulan kepada Sapto, tetangganya yang memiliki sumur. Uang itu untuk jatah dua ember air sehari. ”Untuk sikat gigi, mandi, cuci piring, cuci sayur, terpaksa masih pakai air sungai,” kata Tini. Namun, air sumur pun sebenarnya tercemar. ”Tahun 2000-an kami mengambil 55 sampel air sumur warga dan hasilnya kebanyakan terkontaminasi air asam,” ujar Sri. Pengujian yang dilakukan Puskesmas Asembagus di sumur warga pada Maret 2011 juga menunjukkan tingginya kadar fosfor. Surahman, petugas sanitasi dari Puskesmas Asembagus, mengatakan, kandungan fosfor dalam air sumur warga di sekitar Sungai Banyuputih mencapai 1.680 part per million (ppm). Jumlah itu melebihi ambang batas aman 1.500 ppm. Bahkan, pada Juni, ditemukan sumur warga mengandung fosfor 1.930 ppm. Tingginya kadar fosfor ini, menurut dokter Widyarto yang bertugas di Puskesmas Asembagus, berpotensi menimbulkan penyakit ginjal. Gejala gangguan ginjal ini sudah banyak dikeluhkan warga. ”Sakit pinggang dan kencing tak lancar merupakan keluhan umum yang kami temui,” katanya. Namun, Widyarto tak memiliki data rinci. ”Masih butuh pemeriksaan lebih lanjut,” katanya. Apalagi, kebanyakan warga yang mengeluh gangguan ginjal itu tak berobat lebih lanjut. Bagi Kepala Desa Bantal Sahija, ancaman itu sudah nyata. ”Pintu besi di Dam Banyuputih saja gampang keropos dan harus diganti setiap dua tahun,” katanya. ”Tak terbayangkan bahaya yang dialami warga jika terus memakai air ini.” Namun, Sahija tak bisa menghentikan warga untuk menggunakan air yang tercemar itu. Warga tak memiliki pilihan. Menurut Sri, desa di pinggir Sungai Banyuputih itu sebenarnya tidak layak huni lagi. ”Produksi air asam akan terus terjadi selama air danau Kawah Ijen tetap ada dan menjadi petaka,” katanya. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono mengatakan, pada 2006, pihaknya sudah menyampaikan soal pencemaran dari Kawah Ijen kepada pemerintah daerah, kemudian juga ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana. ”Namun, belum ada tindakan,” katanya. Ahmad Arif, Indira Permanasari, dan Siwi Yunita Cahyaningrum Post Date : 19 Januari 2012 |