opelesshagen: Harapan Itu Habis Sampai di Sini

Sumber:Majalah Gatra - 30 Desember 2009
Kategori:Climate

Pertemuan para pihak Protokol Kyoto ke-15 di Copenhagen gagal menghasilkan kesepakatan yang mengikat negara-negara untuk mengurangi emisi karbon demi mencegah perubahan iklim. Negara maju, yang disponsori Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, tidak mau terikat Protokol Kyoto, yang mewajibkan mereka mengurangi emisi karbon. Negara berkembang berkeras di jalur Protokol Kyoto.

Tiga puluh tahun lalu, Cochas adalah tempat yang sangat menyenangkan bagi Irma Luz Poma Chancumani, 40 tahun. Desa di ketinggian 3.400 meter di Pegunungan Andes, Peru, itu adalah desa penghasil kentang, buah-buahan, dan madu yang terkenal. Di masa kecil, Irma kerap berjalan-jalan bersama ayahnya untuk memetik buah-buahan, minum madu, dan minum air dari sebuah sungai kecil yang melintas di sana. "Sangat menyenangkan. Makanan mudah didapat dan kita bisa minum air sungai yang jernih," tuturnya kepada Gatra.

Warga Cochas, sebagaimana kebanyakan warga keturunan suku Indian Peru, memang menggantungkan hidup pada apa yang disediakan alam. Gletser atau salju yang menaungi puncak Pegunungan Andes menjadi sumber air bagi warga. Kadangkala salju juga menjadi hiburan menyenangkan bagi anak-anak Cochas. Irma ingat, kakeknya kerap mengambilkan untuknya gumpalan-gumpalan es dari puncak gunung dan mengolesinya dengan madu. "Itu es krim terenak dalam hidup saya," katanya.

Dengan lahan yang subur, setiap panen, keluarga Irma bisa menghasilkan 100 karung kentang. Masa menanam dan panen, bagi warga Cochas, adalah masa-masa menjalani ritual bersyukur kepada Tuhan dan bumi yang telah memberikan kehidupan. Mereka menyambutnya dengan ritual menari dan bernyanyi. "Kami ingin menghibur bumi agar ia gembira dan memberi kami hasil yang baik," ujar Irma.

Kini tarian dan nyanyian untuk menghibur sang bumi itu tak lagi berkumandang di Cochas, tidak juga di desa-desa sekitarnya. "Kami sudah kehilangan tradisi ini," kata Irma.

Bumi, menurut dia, kini tak lagi ramah pada penduduk di sekitar Pegunungan Andes. "Gletser mencair, sungai-sungai kehilangan sumber airnya, dan bumi semakin kering," katanya. Sekarang ini, bisa memanen empat-lima karung kentang untuk makan saja sudah baik. Ketika bumi tak lagi ramah, banyak warga pergi ke kota mencari pekerjaan. Namun, tanpa keahlian lain selain bertani, mereka sulit mendapat pekerjaan dan akhirnya kembali ke Cochas menjalani nasib yang semakin suram.

Ribuan mil dari Cochas, ladang-ladang di wilayah selatan Kenya dan utara Tanzania yang menjadi wilayah penggembalaan ternak suku Masaai kini tak lagi menjanjikan untuk menggembalakan ternak. Stanley, seorang warga suku itu, memberikan kesaksian dalam sebuah acara yang digelar di Klima Forum, sebuah forum tandingan bagi pertemuan COP-15 Copenhagen. "Lahan-lahan mengering, semakin sulit mencari tempat untuk menggembalakan ternak. Hewan-hewan kami mati," tuturnya, sendu.

Cuaca yang makin tak pasti juga membuat penghasilan Tiharom, 33 tahun, nelayan asal Marunda, Jakarta Utara, menyusut. Ia masih ingat, sekitar 10 tahun lalu, ketika mulai melaut mengikuti sang ayah, saban hari dia bisa menangkap 70-80 kilogram ikan. "Itu juga nyari-nya nggak jauh, paling 200-300 meter dari pantai sudah bisa dapat ikan," katanya. Jenis-jenis ikan yang ditangkap pun sangat beragam. Mulai ikan sembilang, belanak, kerapu, tembang, kakap merah, hingga kakap putih bisa mereka tangkap.

Dengan hasil tangkapan itu, Tiharom mengaku bisa membawa uang Rp 150.000 per hari. Uang sebesar itu, pada saat itu, sangat cukup untuk hidup keluarganya. Namun semuanya berubah dalam lima tahun terakhir ini. Kini, untuk melaut, Tiharom harus menempuh jarak 2-3 mil atau 4-6 kilometer dari pinggir pantai. Tapi hasil tangkapannya jauh menyusut. "Sekarang paling banyak sekali melaut cuma bisa dapat 10 kilo," ujarnya.

Penghasilannya pun berkurang. Bisa mendapat uang Rp 75.000 saja sudah bagus buat Tiharom. Padahal, pada saat ini, modal melaut yang dikeluarkan makin besar. Dulu hanya cukup bermodal jaring, sedangkan kini, selain jaring, mereka juga memakai bubu dan pancing rawe alias pancing dengan banyak kail. Belum lagi harga solar yang jauh lebih mahal dari harga dahulu.

Tantangan lain yang mesti dihadapi Tiharom adalah ombak yang makin ganas. "Musim barat sekarang lebih panjang. Ombaknya juga makin besar," tuturnya.

Jika dulu musim barat hanya berlangsung dua bulan, kini bisa empat hingga enam bulan. "Dan, kalau dulu kami masih bisa nyolong-nyolong melaut di musim barat, sekarang nggak bisa, ombaknya sudah lebih besar," ia menambahkan.

Tiharom tak hanya terancam kehilangan mata pencaharian akibat cuaca yang makin tak bisa diprediksi. Ia juga terancam kehilangan rumah. Gerusan ombak membuat Tiharom harus memundurkan rumahnya 200 meter dari lokasi lama lantaran terjadi abrasi. "Rumah saya yang lama sekarang sudah jadi laut," katanya.

Irma Luz, Stanley, dan Tiharom tinggal di wilayah yang berjauhan, dipisahkan laut berjarak ribuan mil. Namun mereka dipersatukan oleh nasib yang sama akibat perubahan iklim. Rasa senasib inilah yang mengantar mereka datang ke Copenhagen. Mereka ingin menyuarakan kehidupan mereka yang makin terancam akibat perubahan iklim. "Saya berharap, para pemimpin dunia bisa mendengar suara kami. Mereka harus membuat keputusan yang memihak pada kehidupan kami," ujar Irma.

Seruan Irma juga diteriakkan lantang oleh para aktivis yang sepanjang pekan tak lelah berdemonstrasi. Tak peduli cuaca dingin yang menyengat hingga minus 5 derajat celsius, para aktivis itu meneriakkan slogan keadilan iklim berulang-ulang di luar arena sidang.

"Apa yang kalian inginkan? Keadilan iklim! Kapan kalian menginginkannya? Sekarang juga!" begitu yel-yel para demonstran. Mereka juga mengusung poster-poster seruan untuk melawan perubahan iklim. "Ubah pikiran Anda, bukan iklim!" demikian salah satu poster yang dipampangkan.

Harapan warga dunia agar di Copenhagen dihasilkan kesepakatan internasional yang mengikat semua negara untuk wajib menurunkan emisinya memang besar. Bahkan nama Copenhagen sampai dipelesetkan menjadi "Hopenhagen", artinya "semua harapan diletakkan di kota ini".

Di mana-mana, di sudut kota, terpampang slogan "Hopenhagen", baik pada poster besar maupun kecil. Tak cuma itu. Patung-patung bola bumi pun bertebaran di sudut-sudut kota, stasiun kereta, dan taman-taman, menggambarkan harapan bumi bisa diselamatkan dari kehancuran akibat perubahan iklim.

Di Bella Center, jauh dari ingar-bingar protes para demonstran dan bekunya udara musim dingin Copenhagen, pemimpin dari 119 negara dan delegasi dari 190 negara berkumpul. Selama dua minggu, sejak 7 hingga 18 Desember, mereka berupaya mencari kata sepakat untuk mencegah perubahan iklim. Namun tampaknya, konferensi para pihak (Conference of The Party-COP) Protokol Kyoto ke-15 itu tidak berjalan seperti harapan banyak pihak.

Sejak dibuka Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke Rasmussen, 7 Desember lalu, konferensi ini lebih banyak diisi dengan tarik-menarik kepentingan antara negara maju dan negara miskin. Baru saja konferensi berjalan, terbit dokumen konsep Kesepakatan Copenhagen (Copenhagen Agreement). Draf itu terbit secara terbatas di kalangan delegasi COP-15 dan bocor ke media.

Secara umum, dokumen itu berisi pembagian negara berkembang dengan kategori baru, yaitu negara miskin dan paling rentan. Selain itu, dokumen tersebut juga memuat kesepakatan pendanaan dampak perubahan iklim melalui pendekatan berbasis pasar. Bocornya dokumen itu langsung memicu kekhawatiran akan memperlemah kesepakatan perundingan-perundingan sebelumnya, termasuk komitmen negara industri menurunkan jumlah emisi dan bagaimana cara melakukannya.

Dokumen itu juga membuat marah sebagian delegasi negara berkembang. Selusin lebih delegasi negara-negara Afrika terlihat emosional dan melakukan aksi spontan di Bella Center, tempat berlangsungnya COP-15. "Teks ini jelas tidak adil dan akan menumbangkan hasil negosiasi selama dua tahun. Dokumen ini jelas mengabaikan suara negara-negara berkembang," kata Lumumba Stanislaus Dia Ping, utusan Sudan untuk negara berkembang yang tergabung dalam Grup 77 (G-77).

Dokumen itu pun membuat berang Pemerintah Cina. Pasalnya, draf teks itu menghitung pula tahun puncak emisi karbon dari negara berkembang. "Itu sangat tidak adil, mengukur target puncak emisi karbon negara berkembang yang baru saja masuk tahap industrialisasi," kata Su Wei, Deputi Kepala Delegasi Perubahan Iklim Cina.

Bocoran dokumen itu juga membuat pihak sekretariat COP-15 kelabakan. Tepat pukul 01.22 waktu Copenhagen, 9 Desember 2009, petugas humas UNFCCC mengeluarkan seruan media untuk menanggapi berbagai informasi yang beredar dan kekhawatiran terhadap hasil COP-15. Surat elektronik ini memuat satu paragraf pernyataan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer. "Ini hanyalah dokumen informal yang dikeluarkan sebelum konferensi, untuk diberikan kepada beberapa orang dalam rangka proses konsultasi," tuturnya.

Tak hanya itu. Tarik-menarik antara negara maju dan negara berkembang pun terjadi di meja perundingan. Di awal negosiasi, para pihak sepakat meneruskan jalur negosiasi yang dirancang di Bali, yaitu Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) dan Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA).

Dalam AWG-KP, dibahas kelanjutan tahap kedua pelaksanaan Protokol Kyoto, yaitu kewajiban negara yang tergabung dalam Annex I alias negara maju untuk mengurangi emisi pada periode 2013 dan selanjutnya. Sedangkan di AWG-LCA, dibahas hal serupa untuk negara berkembang dan negara maju non-pihak Protokol Kyoto, seperti Amerika Serikat dan Australia.

Dalam proses pembahasan itu, negara-negara berkembang kembali melakukan protes lantaran negara maju terus memaksa negara berkembang mengeluarkan komitmen angka pengurangan emisi mereka. Sedangkan negara maju tidak melakukan hal yang sama. Sikap negara maju dengan Uni Eropa sebagai ujung tombaknya ini kembali membuat berang pihak G-77 dan Grup Afrika yang didukung Grup Negara Kepulauan Kecil (AOSIS).

Pihak Afrika dan G-77 sempat mengancam tidak akan meneruskan perundingan jika negara maju tidak mau mengeluarkan komitmen pengurangan emisi secara kongkret. Proses perundingan sempat mengalami deadlock, sampai akhirnya pihak negara maju mau memulai perbincangan dalam kerangka AWG-KP. Hanya saja, negara maju yang dimotori Uni Eropa dan Jepang meminta syarat. Salah satunya, kepastian menyangkut keterlibatan negara maju non-anggota Annex I, seperti Amerika Serikat dan Australia, dalam mengurangi emisi.

Permintaan itu akhirnya bisa disepakati dan perundingan pun kembali berlanjut. Tetapi, lagi-lagi, berbagai hambatan terjadi, sehingga harapan akan adanya kesepakatan yang mengikat (legally binding) semakin tipis. Setiap draf kesepakatan yang dikeluarkan selalu ditentang negara maju yang dimotori Uni Eropa dan Jepang, sepanjang menyangkut besaran angka emisi yang wajib dikurangi negara maju.

Negara maju berkeras ingin menghasilkan kesepakatan baru di luar Protokol Kyoto. Alasannya, hampir semua negara anggota United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) adalah pihak dalam protokol. Sedangkan Amerika Serikat tidak termasuk, meskipun emisinya besar. Negara-negara maju keberatan dengan pengecualian bagi Amerika Serikat itu. Mereka menginginkan protokol baru yang memasukkan Amerika sebagai anggota dan memberikan kewajiban bagi negara berkembang untuk ikut mengurangi emisi.

Sikap negara maju itu jelas tidak dapat diterima negara-negara berkembang yang disponsori blok G-77 dan Grup Afrika. Dalam Protokol Kyoto, negara berkembang memang tidak diwajibkan mengurangi emisi dan tidak ingin dipaksa melakukan perundingan di luar yang dimandatkan Bali Action Plan.

Negara-negara berkembang dan negara miskin khawatir, jika diwajibkan mengurangi emisi, perekonomian mereka jadi lumpuh. Apalagi, dalam perundingan, negara maju tidak mau menjanjikan bantuan finansial dan transfer teknologi untuk membantu negara berkembang mengurangi emisinya.

Sikap negara maju yang tidak mau melanjutkan kesepakatan dalam kerangka Protokol Kyoto makin kentara ketika sidang mengeluarkan draf kesepakatan tanggal 17 Desember. Dalam draf itu terdapat dua butir kesepakatan yang menegaskan kewajiban negara maju mengurangi sebagian besar emisinya. Berapa besaran emisi karbon yang wajib dikurangi negara maju memang tidak disebutkan dalam draf itu, menunggu kesepakatan dari pihak negara maju dalam Annex I Protokol Kyoto.

Ternyata draf yang terhitung lunak itu pun ditentang Uni Eropa dan Jepang. Mereka beralasan, draf tersebut masih didasarkan pada kerangka Protokol Kyoto. Jepang dan Uni Eropa, sepanjang Kamis itu, menolak terlibat pembicaraan terkait Protokol Kyoto. Mereka malah menginginkan adanya konsultasi dengan ketua sidang untuk memodifikasi teks tersebut.

Sampai Jumat 18 Desember, blok negara maju terus menyuarakan perlawanan atas draf kesepakatan itu. "Perpanjangan pemberlakukan Protokol Kyoto tidak akan memberi solusi untuk mengurangi emisi," kata seorang perwakilan negara maju. Mereka berkeras agar ada kesepakatan baru yang ikut mewajibkan Amerika Serikat dan negara berkembang mengurangi emisi karbonnya.

Sebaliknya, dalam pertemuan itu, negara-negara berkembang berkeras untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Bahkan mereka menuntut negara maju mengurangi emisi karbon setidaknya 40% pada 2020, dari level emisi tahun 1990. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam pidatonya di hadapan sidang, menegaskan hal ini. "Indonesia yakin, komitmen itu harus mencapai sekitar 40%, sebagaimana yang ditetapkan oleh IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change --Red.)," kata Presiden SBY.

Negara berkembang juga mendesak adanya kesepakatan para pihak secara terpisah agar Amerika Serikat diwajibkan melakukan hal yang sama dengan negara maju. Sedangkan negara berkembang akan melakukan aksi sukarela (voluntary action) dalam pengurangan emisi karbon, dengan bantuan finansial dan transfer teknologi dari negara maju. Sebagai jaminan, beberapa negara berkembang mengumumkan target pengurangan emisi mereka sejak beberapa pekan sebelumnya.

Cina berkomitmen mengurangi emisinya 40%-45% dari pendapatan domestik netonya pada 2020, dari level emisi 2005. Brasil datang dengan ambisi mengurangi 36%-38% emisinya pada 2020. India berjanji mulai mengurangi emisinya 20%-25% pada 2005. Indonesia sendiri, seperti dikatakan Presiden SBY, berkomitmen mengurangi emisinya 26% pada 2020 dan 41% jika mendapat bantuan internasional.

Meski sudah ada sinyal dari negara berkembang, tetap saja negara maju tidak percaya. Mereka ngotot ingin menyingkirkan Protokol Kyoto. Sedangkan negara berkembang tetap pada kesepakatan Bali Action Plan untuk dibahas pada pembicaraan tingkat tinggi, Jumat 18 Desember. Pendukung langkah ini, antara lain, Kelompok Negara Kepulauan Kecil (AOSIS) yang diwakili Grenada, Afrika yang diwakili Gambia, Afrika Selatan, Nigeria, Brasil, India, Cina, Tuvalu, dan Bolivia.

Tapi, sepertinya, perlawanan negara-negara berkembang itu sia-sia belaka, juga keinginan negara maju anggota Annex I untuk memaksa Amerika Serikat masuk ke pihaknya. Pidato Obama pada 18 Desember di Bella Center menegaskan keengganan Amerika Serikat masuk menjadi pihak dalam protokol. Meski begitu, Obama berjanji mengurangi emisi Amerika sebesar 17% pada 2020 dan 80% pada 2020.

Obama juga berjanji membantu menyiapkan dana US$ 10 milyar untuk membantu negara berkembang menghadapi dampak perubahan iklim dan melakukan mitigasi pada 2012. Lebih jauh, dia berjanji membantu menggalang dana dari negara-negara maju lainnya sampai US$ 100 milyar pada 2020.

Obama kembali menegaskan sikap Amerika Serikat itu dalam sesi tanya-jawab dengan wartawan. "Meski tidak akan terikat pada traktat mana pun, kami akan menegaskan kembali komitmen yang telah kami targetkan," kata Obama. Menurut Obama, Amerika hanya akan berkomitmen pada apa yang bisa mereka capai. "Sangat tidak mungkin kami mengubah diri dan menciptakan energi ramah lingkungan dalam semalam," ia menambahkan. Tapi, menurut Obama, industri di Amerika sedang bergerak ke arah itu.

Kata Obama, sebuah kesepakatan mengikat memang penting. "Tapi itu tidak akan dicapai di sini, di konferensi ini," ujarnya. Karena itu, katanya, daripada capek-capek menyusun kesepakatan yang hanya menjadi macan kertas, lebih baik setiap negara melakukan aksi nyata yang bisa dicapai dengan tetap berupaya mencari kesepakatan yang dapat mengikat dalam perjalanan waktu. "Itu tujuan utama yang ingin saya capai pada hari ini," katanya.

Sikap Amerika Serikat tersebut makin menguatkan langkah negara Annex I Protokol Kyoto untuk keluar dari kerangka pembicaraan protokol itu. Dalam draf kesepakatan yang dibuat pada 18 Desember sore, negara maju belum mau menetapkan besaran angka emisi yang wajib dikurangi. Dalam butir keempat rancangan kesepakatan itu hanya ditetapkan bahwa pihak Annex I akan mengurangi emisi karbon setidaknya 80% pada 2050. Selebihnya, untuk emisi tahun 2020, hanya disebutkan negara Annex I akan mengurangi X persen pada 2020 dari emisi tahun 1990 dan Y persen pada 2020 dari emisi tahun 2005.

Pada butir kelima kesepakatan itu juga disebutkan kewajiban negara non-Annex I mengurangi emisi karbon berdasarkan kesepakatan di antara masing-masing negara. Namun negara non-Annex I diwajibkan mengadakan pertemuan tiap dua tahun untuk mengevaluasi hasilnya dan dikomunikasikan kepada sekretariat UNFCCC. Dalam butir kedelapan disepakati pula bahwa negara maju akan membantu pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi sebesar US$ 30 milyar pada 2010-2012.

Toh, rancangan itu tak juga memuaskan semua pihak. Akhirnya para pemimpin dunia hanya bisa menghasilkan kesepakatan politik pada 19 Desember. Kesepakatan tak mengikat ini hanya menyatakan, setiap negara berkomitmen mengurangi emisinya dan membantu menggalang dana bagi negara berkembang untuk menghadapi perubahan iklim. Butir-butir kesepakatan itu dituangkan dalam Kesepakatan Copenhagen (Copenhagen Accord).

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki Moon, tampaknya cukup puas dengan hasil itu. "Kami telah mencapai kesepakatan," tuturnya. Ia mengakui, kesepakatan itu mungkin tidak sesuai dengan harapan banyak pihak. "Tetapi itu permulaan yang sangat penting," ia menambahkan. Dengan kesepakatan itu, negara maju diharapkan mulai melaksanakan komitmennya mengurangi emisi karbon sebelum 31 Januari 2010.

Selain itu, beberapa negara berkembang, termasuk kekuatan ekonomi baru seperti Cina dan India, sepakat untuk mulai mengomunikasikan upaya mereka mengurangi emisi karbon setiap dua tahun dan memulai aksi sukarela mereka sebelum 31 Januari 2010. Sementara itu, untuk pendanaan, posisinya tidak berubah dari draf sebelumnya, yaitu US$ 30 milyar dalam tiga tahun ke depan.

Banyak pihak kecewa atas keputusan itu. Lumumba Stanislas Dia-Ping, Ketua G-77, dan Cina menyatakan kekecewaannya atas draf kesepakatan itu. "Itu draf kesepakatan terburuk dalam sejarah," kata Dia-Ping. Kesepakatan itu, menurut dia, melanggar prinsip demokrasi dan keadilan.

Dia-Ping menuduh Amerika Serikat, Uni Eropa, dibantu tuan rumah Denmark, berkonspirasi menginjak-injak negara miskin. Dia-Ping menegaskan, nilai komitmen bantuan US$ 30 milyar itu tidak akan bisa membantu negara miskin selamat dari perubahan iklim. "Kami akan menolak menandatangani perjanjian itu," kata Dia-Ping dengan nada tinggi.

Menurut dia, dengan sikap Obama yang menyatakan keengganan Amerika Serikat terlibat dalam sebuah kesepakatan mengikat itu menegaskan bahwa Obama tak ada bedanya dengan Bush. "Obama telah menghapus garis pemisah yang membedakan dia dengan Bush," ujar Dia-Ping.

Di luar ruang konferensi, tanpa memedulikan udara dini hari Copenhagen yang menembus minus 6 derajat, puluhan pemrotes menyatakan sikap menentang draf kesepakatan itu. Mereka mengusung poster Obama dengan tulisan "Climate Shame". Bagi mereka, keputusan Copenhagen itu adalah keputusan paling memalukan dalam sejarah.

Istilah "Hopenhagen" pun berubah menjadi "Hopelesshagen" alias tidak ada harapan. "Copenhagen berada di jurang kegagalan karena kombinasi antara tidak adanya kepemimpinan yang baik dan ambisi yang tidak meyakinkan," kata Kim Carstensen, Ketua WWF Global Climate Initiative.

Para pemimpin dunia harus mendengarkan pepatah Peru. "Yang memberi manusia kehidupan adalah bumi. Jika meresapi itu, kita akan mencintai bumi," kata Irma Luz.

• Obama berjanji mengurangi emisi Amerika Serikat sebesar 17% pada 2020 dan 80% pada 2020.

• Cina dan India siap mengurangi emisi setiap dua tahun dan dimulai sebelum 31 Januari 2010.

• Pelajaran bijak dari Peru: "Yang memberi manusia kehidupan adalah bumi. Jika meresapi itu, kita akan mencintai bumi."

Janji Pengurangan Emisi Negara Maju

Negara Jumlah Pengurangan Emisi Tahun Acuan Status Perjanjian Jepang 25% 1990 Diumumkan resmi Uni Eropa 20%-30% 1990 Diadaptasi dalam legislasi nasional Federasi Rusia 15%-25% 1990 Diumumkan resmi Kanada 20% 2006 Diumumkan resmi Australia 5%-15% atau 5%-25% 2000 Diumumkan resmi Amerika Serikat 14%-17% 2005 Masih dipertimbangkan Sumber: diolah dari UNFCCC COP-15

Janji Pengurangan Emisi Negara Berkembang

No. Negara Target 1 Brasil Mengurangi emisi 36,1%-38,9% pada 2020 2 Cina Mengurangi intensitas karbon 40%-45% pada 2020 dari level emisi tahun 2005 3 India Mengurangi intensitas emisi 20%-25% pada 2020 dari level emisi tahun 2005 4 Indonesia Mengurangi emisi 26% pada 2020 dan 41% dengan bantuan internasional 5 Meksiko Mengurangi emisi 50% pada 2050 dari level tahun 2000 6 Singapura Mengurangi emisi 16% pada 2020 7 Afrika Selatan Mengurangi emisi 34% pada 2020 dan 42% pada 2025 Sumber: diolah dari COP-15 UNFCCC M. Agung Riyadi (Copenhagen)



Post Date : 30 Desember 2009