Ooh Ingin Lepaskan Derita Lewat TPA

Sumber:Kompas - 8 April 2005
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Orangtua dan muda berbusana kotor dan bau tampak ragu-ragu mendekati sampah. Mereka saling berpandangan, menanti isyarat untuk mengambil sampah. Saat seorang pemuda pemulung mendekati sebuah tumpukan sampah, pemulung yang lain ikut mendekat. Namun, gerakan mereka di depan tumpukan sampah masih kaku dan kikuk.

Inilah pemandangan yang tampak saat Tempat pembuangan Akhir (TPA) sampah Cicabe dioperasikan kembali, Selasa (5/4), setelah 14 tahun ditutup.

TPA seluas empat hektar yang berada di Kelurahan Mandalajati, Kecamatan Cicadas, Kota Bandung ini digunakan sebagai TPA darurat untuk menangani sampah yang menumpuk di Kota Bandung.

Sampah menumpuk setelah TPA Leuwigajah ditutup. Tumpukan sampah ini harus segera dibereskan, terlebih pemerintah kota tengah menata kotanya untuk menggelar napak tilas Konferensi Asia Afrika yang akan dihadiri ratusan delegasi dari berbagai negara, 24 April mendatang.

Warga di sekitar TPA Cicabe hanya menyetujui pengoperasian TPA dilakukan hanya 30 hari. Pengoperasian pertama dilakukan Selasa (5/4).

Sejak seminggu sebelum pengoperasian, belasan warga Desa Mandalajati mulai beroperasi sebagai pemulung. Tadinya mereka adalah pengangguran. Itu sebabnya gerak tubuh mereka saat mengais sampah masih canggung.

Setiawan (14), terpaksa jadi pemulung. "Ahlumayan kalau ada sampah. Mungkin saya bisa punya uang sekitar Rp 10.000. Selama ini saya cuma pengangguran," ujar Setiawan.

Agus (21) mengatakan sebetulnya was-was dengan kedatangan sampah. "Saya takut lingkungan di sini jadi makin tercemar. Tapi, karena tidak ada uang, mau apalagi selain ikut bergabung mengais rezeki dari sampah," ucap Agus.

Sedangkan Dede (32) selama ini tidak punya pekerjaan dan keluarganya jarang makan nasi. Ia ingin membeli sekilo beras untuk keluarganya hari itu. Sekilo beras bisa ia dapatkan jika ia berhasil mengumpulkan tiga kilo paku atau besi.

Selama hampir tiga jam bekerja, rata-rata pemulung hanya mengantongi kurang dari setengah kilo rongsokan di karungnya.

Di antara para pemulung itu tampak seorang nenek yang amat lamban bergerak. Namanya Ooh (68). Mata Ooh tampak lelah. Kepalanya ditutup sebuah jaket rajutan untuk menepis sengatan matahari.

Meskipun ia sudah membawa besi pengais sampah, Ooh tampak ragu bergabung dengan warga lainnya. Kakinya yang lemah tampak sulit menginjak di jalan berbatu dan berlumpur itu.

Sesungguhnya, hari itu Ooh tengah sakit perut. Lambungnya terasa perih akibat belum makan sejak sehari sebelumnya. Penyakit yang sudah lama dideritanya itu disebabkan Ooh sering tidak makan karena tidak mempunyai uang.

"Kadang empat hari tidak makan nasi. Saya hanya merebus singkong dan daunnya," kata Ooh. OoH menanam singkong di lahan TPA Cicabe. Tanah di TPA tersebut seluruhnya sudah tertutup sampah. Akibatnya, rasa singkong pahit atau terlampau manis dan tidak empuk. Meski begitu, Ooh tetap menyantapnya.

"Alhamdulillah, saya tidak pernah keracunan. Tuhan juga tahu, orang miskin seperti saya pasti dilindungi. Kalau tidak, saya makin tidak bisa makan," kata Ooh.

Dua minggu lalu, sejak TPA Cicabe dipersiapkan untuk menjadi TPA darurat, kebun singkong yang berada di atas lahan TPA dibabat, dijadikan jalan masuk truk dan menumpuk sampah. Ooh pun kehilangan sumber makanannya.

"Untung masih ada sampah. Jadi saya dan anak bisa mengumpulkan kayu atau paku untuk dijual," kata Ooh yang datang ke lokasi TPA bersama anaknya, Dede dan cucunya.

Hidup Ooh tidak pernah lepas dari derita. Sejak kecil hingga menikah dengan seorang tukang parkir di Pasar Cicadas, Bandung, ia selalu bergelut dalam kemiskinan.

Suaminya meninggal akibat penyakit lever 25 tahun lalu. Penyakit tersebut timbul karena suami Ooh sering menunggui kendaraan sampai larut malam dan lebih suka menyimpan uangnya untuk keluarga daripada untuk makan.

Sepeninggal suaminya, hidup Ooh dan anaknya terlunta-lunta. Ooh meninggalkan empat anaknya di sebuah rumah kontrakan untuk menjadi pembantu rumah tangga.

Namun, karena sudah tua, Ooh pun diberhentikan. "Katanya mempekerjakan orang tua hanya memancing dosa," ujar Ooh sambil mengajak Kompas ke rumahnya yang jaraknya hanya 30 meter dari TPA.

Anaknya satu per satu menikah dan meninggalkannya. Kini, Ooh tinggal dengan anak nya yang paling kecil. Seorang kerabatnya yang tidak tega melihat penderitaan Ooh, membuatkan sebuah rumah di dekat TPA setahun lalu.

Itulah untuk pertama kalinya Ooh bisa hidup menetap di suatu wilayah. Maka di usia uzurnya, untuk pertama kalinya Ooh memiliki kartu keluarga dan kartu tanda penduduk.

Sayangnya, ia tidak mempunyai kartu sehat. Itu sebabnya ia tidak berani berobat. Bahkan karena sering sakit kepala, kini telinga kiri Ooh tuli. Jika sakit maag atau sakit kepalanya kambuh, Ooh hanya menelan obat warung. Itupun kalau ada uang.

Ooh selalu menitip pesan pada orang-orang jika ada pekerjaan untuknya, tolonglah dikabari. Tetapi hingga saat ini tidak ada yang membawa kabar yang diharapkannya. "Sudah tua begini, makin tidak laku buat jual tenaga," kata Ooh.

Karena keinginan besar untuk mengais keping-keping rupiah, Ooh melangkah ke TPA pagi itu untuk mengumpulkan paku dan kayu meski dalam keadaan sakit.

Biasanya Ooh sering mengkhayal memiliki sedikit modal untuk berdagang di depan rumahnya. Rumah bilik bambu milik Ooh, juga ditempati anaknya (Dede), dan dua orang anaknya dan seorang menantu. Rumah tersebut tidak ada listrik PLN sehingga setiap malam Ooh selalu menyalakan lampu cempor.

Lampu itu terbuat dari botol yang diisi minyak tanah dan dipasangi sumbu. Agar tidak jatuh terguling, botol dimasukkan dalam kaleng cat. Untuk menerangi rumahnya, Ooh membutuhkan satu liter minyak tanah untuk empat hari.

Harga satu liter minyak tanah di kelurahan tersebut Rp 1.200. Agar irit, Ooh hanya menggunakan lampu cempor tidak lebih dari tiga jam. "Selepas shalat Isya, lampu dimatikan dan kami sekeluarga langsung tidur," ujar Ooh. Itulah gambaran orang yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. (Y09)

Post Date : 08 April 2005