Olah Sampah Organik Jadi Pupuk Kompos

Sumber:Suara Merdeka - 07 Juni 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

PEMIKIRAN menjadikan sampah organik menjadi pupuk kompos sudah muncul puluhan tahun silam. Bahkan para leluhur tak sekadar memikirkan namun membuktikannya dengan menyendirikan sampah plastik, kaca, dan sejenisnya terpisah dengan dedaunan, sisa makanan. Kotoran dari daun-daunan dibusukkan dan dibuat untuk pupuk tanaman di ladang dan sawah.

Sayangnya, tradisi tersebut menghilang setelah datang pupuk buatan dari bahan kimia yang dinilai cespleng untuk menyuburkan dan menggemukkan tanaman. Tak terlintas kelak dampak bahan kimia terhadap produk dan lebih penting lagi bagi pengonsumsinya, manusia. Kini setelah muncul kesadaran bahaya dampak pupuk kimia, mulailah beramai-ramai back to nature.

Memang belum banyak yang melakukan langkah mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos seperti dahulu kala namun sejumlah pihak sudah memeloporinya. Lihat saja Bank Danamon melalui Yayasan Danamon Peduli bekerja sama dengan Pemkab Bantul, Pengelola Pasar Bantul, dan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia yang membangun satu unit pengolahan sampah menjadi kompos di belakang Pasar Bantul, DIY.

‘’Ini pilot project dan sudah berjalan baik, satu unit mesin pengolah sampah dan bangunan senilai sekitar Rp 70 juta ini mampu mengolah 2,5 ton sampah basah menjadi satu ton pupuk organik,’’ ungkap Direktur Eksekutif Danamon Peduli, Risa Bhinekawati, di sela-sela kunjungan ke lokasi tersebut, kemarin.

Dinilai berjalan baik dan berhasil, Pemkab Bantul berencana membangun dua unit pengolahan sampah serupa di Pasar Imogiri dan Niten.

Bukan hanya itu, seluruh kabupaten dan kota di Jateng yang jumlahnya 35 merespons pengolahan itu dan mengajak Danamon bekerja sama. Setiap saat ada saja pemerintah daerah dari Jateng yang menyaksikan langsung dan menimba ilmu mengolah sampah di sana.

Tenaga Kerja

‘’Di Jateng baru Sragen yang sudah ada unit pengolahan serupa, pemerintah setempat menyambut baik upaya Danamon Peduli karena tenaga kerja dapat terserap di sana,’’ imbuh Risa.

Satu unit pengolah sampah, jelasnya, dapat menampung empat-lima tenaga kerja. Bayangkan kalau setiap daerah memiliki satu unit saja sudah ratusan orang dapat hidup dari sana.

Belum lagi seandainya jumlahnya bertambah seperti di Bantul yang akan membuat dua unit lagi, makin banyak tenaga kerja tertampung.
Kegiatan lain yang berkembang dari Yogyakarta adalah Danamon Simpan Pinjam (DSP). Bank tersebut membuat pilot project di Pasar Beringahrjo pada tahun 2004.
 
Ternyata sambutan masyarakat terutama pedagang sangat baik dan sampai sekarang dari semula hanya proyek percontohan sudah berkembang menjadi 700 cabang DSP. Hingga akhir tahun 2008 ini, dia menargetkan ada penambahan sebanyak 250-an DSP di seluruh Indonesia.

‘’Pedagang kecil di Yogyakarta memiliki tradisi malu kalau tidak membayar kredit. Inilah salah satu nilai lebih mereka sehingga DSP terus berkembang,’’ ujarnya.

Sejalan dengan perkembangan simpan pinjam, perusahaan tersebut juga melakukan kegiatan corporate social responsibility (CSR) dengan membangun sarana dan prasana di pasar-pasar tradisional seperti WC umum.

Dia menegaskan, Danamon tidak pernah memikirkan mendapat keuntungan dari CSR karena pihaknya murni melakukan itu tanpa embel-embel bisnis apalagi profit oriented.

Dia mengungkapkan, anggaran program itu mencapai angka Rp 14,3 miliar dengan perincian Rp 5,7 miliar untuk pembangunan infrastruktur, Rp 4,5 miliar untuk pembangunan unit pengolahan sampah organik, Rp 1 miliar bagi cepat tanggap bencana, dan sisanya untuk pengembangan internal, membangun networking. (Agung PW)



Post Date : 07 Juni 2008