|
LIMA tahun silam, Kota Semarang nyaris memiliki 'industri sampah'. Kala itu, permasalahan sampah tak lagi diarahkan pada pola pembuangan yang ramah lingkungan. Namun, Pemkot mulai mengonsep sejumlah ide tentang daur ulang. Di samping membeli sejumlah mesin, beberapa investor seperti RRC dan Australia mengungkapkan ketertarikan. "Di Singapura, gas itu dipakai untuk menghidupkan turbin-turbin. Kalau di perkampungan, misalnya untuk membuat dinamo-dinamo sepeda listrik," ujar Sutrisno Soeharto, mantan Wali Kota Semarang. Produk yang sedianya akan dikelola investor tersebut adalah paving. Dibandingkan paving biasa, paving dari sampah ternyata lebih keras. Untuk menciptakan berjenis produk tersebut, pemilahan sampah memang mutlak dilakukan. Namun, pihaknya tak terlalu kewalahan lantaran keterlibatan pemulung dalam proses seleksi sampah. Dari total sampah yang dibuang ke TPA Jatibarang, kuota sampah yang tersisa sekitar 50-60 persen. Sehingga, kuota sampah menjadi makin sedikit karena sebagian disetor pemulung ke perusahaan daur ulang. Pengelolaan sampah di Jatibarang sebenarnya telah mengadopsi sistem sanitary landfill. Sampah yang ada dalam ceruk diuruk dengan tanah. Sambil menunggu ditutup, para pemulung beternak sapi di lokasi tersebut. Untuk mengangkut sampah secara rutin, Pemkot saat itu melibatkan tenaga pemerintah dan swasta. "Dulu pengolahan sampah mendapatkan pengawasan ketat dari Bank Dunia karena semua biaya dari bank itu," jelas mantan Wali Kota dua periode ini. Pengelolaan sampah sendiri sebenarnya tidak terlalu membutuhkan biaya besar. Menurut dia, biayanya tidak kurang dari 10 persen dari total APBD. (91) Post Date : 18 Maret 2005 |